Di catat pada : 21 April 2014 Pukul 18:23 WIB di Wisma
Al-Banna Purwokerto
- Falsafah
hidupnya lebih seperti ingin merasakan kebebasan dunia ini dengan penuh
kebahagiaan. Mereka akan berbondong-bondong dari satu tempat ketempat yang
lain. Tapi bukan nomaden, karena tak pernah punya tujuan pasti. “Yang
penting senang, yang pentinga happy” kalimat itu terus menjadi mascot
untuk di dendangkan di hatinya yang ngilu meski kadang mereka tampak
tertawa-tawa satu sama lain karena bahagia semu.
Tadi pukul 17:11 WIB merupakan
sore yang cukup gelap, Awan jenis Awan Stratocumulus seperti terbirit-birit di
giring-giring sang angin dari arah selatan, laju sana, laju sini hingga sang
awan terpojok dan berkumpul, bergumpal-gumpal dan marah merajai langit bagian
utara wilayah Purwokerto. Padahal aku berharap sore tadi akan mampu menyaksikan
warna merah saga dari langit senja. Namun karena sang awan marah ia berubah
menjadi mahluk lain dan bertindak garang, kemudian ia megamuk dengan
menumpahkan air dari langit kebumi. Basah , hujan.
Sebelum hujan itu di guyurkan
dari langit. Aku ingin bercerita. Memang mendung tadi cukup lama menghiasi sang
langit. Aku yang sore tadi berencana berangkat menuju ke Stasiun Kereta Api
karena ingin membeli tiket untuk perjalanan dari Purwokerto-Bandung terpaksa
berhenti terlebih dahulu. Alasannya bukan karena hujan dan awan mendung itu
tetapi karena sepeda motor yang aku dan Aziz, (sahabatku) kendarai, rodanya
telah menemui ajal, minta di tambal karena bocor. Alhasil aku dan aziz terpaksa
berhenti di depan tukang tambal ban yang letaknya berada di tepi jalan raya
atau biasa di kenal dengan sebutan jalan kampus. Alasanya jelas untuk memenuhi
permintaan motor; ditambal.
Sambil menunggu tukang tambal
selesai menambal ban, aku dan aziz sesekali bercakap-cakap tentang hal-hal yang
menarik. Beberapa saat kemudian kami diam tertegun, aku melihat hal yang
menarik perhatianku. Ada 4 remaja dengan gaya uniq, seketika aku ingat mata
kuliah “ British Culutural Study” kesukaanku di kampus, di mana di dalamya
sempat membahas tentang sebuah komunitas uniq, sarkastik dan rasis di negeara
Inggris, komunitas itu terkenal sangat kejam menyiksa dan tak segan
memukul-mukuli orang yang bukan asli inggris, baginya inggris adalah hanya
untuk orang inggris, komunitas itu bernama Skin Head. Aku perhatikan lagi
dengan seksama, namun mereka berempat tidak mirip Skin Head, mungkin ia anak
punk jalanan.
Aku trenyuh, melihat 4 anak remaja jalanan itu, mereka berbaju tampak kumuh,
kucel, kusam, kulit nya yang hampir legam oleh sapuan debu jalanan semakin
memperburuk citra dirinya. Entah di dalam fikirannya apa yang berkecamuk.
Berjalan dengan kaki serampangan, sesekali menendangi batu-batu kecil di jalan.
Mereka ber 4 adalah pemuda yang perlu mendapatkan perhatian dari kita. Baiklah
aku gambarkan tentang 4 remaja tadi.
Remaja pertama, Ia berwajah tirus, dengan
hidung beranting dan telinga di tindik besi bulat yang besar. Anting yang di hidungnya
lebih mirip seperti anting yang di pasang persis seperti hidung kerbau yang ada
antingnya. Mungkin euphoria di hatinya ingin meneriakan kebebasan, ingin
meneriakan suara yang telah lama mengerami semua keberaniannya. Sehingga ia
hanya berani melakukannya di hidungnya sendiri sebagai ekspresi diri bahwa dia
pemberani dan patut disegani. Namun itu hanya di benak kosongnya karena jika ia
melihat realita yang menggenggam dirinya, maka ia tak kuasa karena kehidupan
jalanan telah memberinya sekat berupa dinding yang tebal supaya tidak bisa
keluar dari kehidupan yang liar itu. Seolah dipaksa oleh nasib untuk mengerami
takdirnya itu. Demikian aku menyaksikan apa yang bisa aku gambarakan. Sisanya
adalah baju lusuh melekat di tubuhnya, dengan tempelan paku payung yang di
benamkan di tepian jahitan bajunya, ia lebih seperti hiasan nyentrik.
Remaja kedua, Ia bermata sayu, tanganya memegang rokok filter,
ntah apa mereknya. Yang aku saksikan adalah helaan mantap ketika menghisap asap
rokok itu seolah tak rela asap rokok terbakar sia-sia. Asap bergelung-gelung
kemudian di gengam seolah iya menggenggam sesuatu padahal asap rokok yang fana.
Buku-buku jarinya berisi zat hitam lebih sadis lagi legam, entah itu apa,
tampak kuning ujung-ujung jemarinya. Di bajunya tidak ada hal berharga,
telinganya sobek sepertinya telah terkena cedera namun tampak seperti bekas
luka lama. Celananya jeans warna beludru dengan sobekan compang-camping di
bagian lututnya. Dari seluruh penampilannya remaja kedua ini tampak memiliki 1
barang istimewa, yaitu sepatu kulit warna coklatnya. Namun sayang sungguh
sayang terlihat tidak serasi jika di sandingkan dengan pakaian kumal lengkap
dengan aksesoris yang melekat pada dirinya. Ia tampak paling preman karena di
lehernya bersemayam tato tengkorak bertanduk simetris yang jika di perhatikan
dari depan dengan seksama akan tampak 2 tanduk tengkoraknya tergambar menjurus
ke arah 2 telinganya berada.
Ramaja ketiga, ia tampak lebih dewasa, meski di tanganya tak
terlihat benda apapun tergenggam, namun ia tampak dengan begitu yakin memegang
harapan dari cacian nasib yang telah menyeretnya ke jalanan. Fikirku kalut
melihat remaja ke tiga ini. Di benamkannya tangan kosongnya itu ke dalam saku
celana jeans nya yang tampak kusam. Rambutnya amburadul, hitam namun kusam
bukan kepalang. Ia seperti telah bergelut dengan ganasnya nasib bertahun-tahun.
Jika aku paksakan bertanya adakah barang yang paling terlihat “mecolok” yang
melekat di diri remaja ke tiga ?. aku bingung harus bilang apa. Yang jelas
bajunya sama seperti yang lain, kumal, lusuh , warna pudar. Namun kalung besi
warna peraknya yang di gelungi bandul tengkorak seperti lambang peringatan
“Danger” --- yang melekat di lehernya, begitu mencolok mata. Ia seperti di
ganasi nasib hingga keseluruhan wajahnya tampak garang.
Remaja keempat, tak kalah menakutkannya. Walaupun sebenarnya dia
anak remaja seumuran siswa masa sekolah menengah atas (SMA), namun karena
aksesoris yang menurutnya mungkin uniq telah membuatnya tampak lebih tua dari
usianya, sekali lagi meski aku tidak tahu usianya berapa. Tetapi gurat-gurat
nasib yang terlukis di wajahnya menyatakan sebuah kebohongan usia, usia yang
tertutupi oleh kenyataan sebuah aksesories yang melekat di tubuhnya. Di
wajahnya menyilang ganas tato codet, tampak di model-model menyerupai jahitan
yang membelah kulit. Juga dengan anting di telinga serta tindik yang jumlahnya
lebih dari satu. Ia lebih seperti begundal, penyamun pada zaman ketika aku
masih SD yang suka muncul di TV-TV film hitam putihku dulu.Aku sungguh tidak tega,
menyaksikan 4 remaja yang seharusnya sekolah tetapi berada di tempat yang tidak
seharusnya, ia masih sangat kuat, ia masih sangat layak di sebut hebat di
usianya yang masih ranum itu.
Aku melihat ini lebih sepserti ironi, paradox
kehidupan telah melukiskan betapa nasib telah menyeretnya ke daratan kehidupan
yang begitu pahit untuknya. Seperti tak tampak harapan akan secuil
mimpi-mimpipun tergenggam, angan mereka tampak kosong. Barangkali hanya di
jejali oleh nasib berupa kehangatan kepulan asap rokok dan arak yang mereka
tenggak setiap malam. Supaya mabuk menerbangkannya pada angan-angank kosong. Ia
bermimpi tapi tak pernah tidur. Karen batasanya adalah alam sadarnya yang
menakutkan, selalu berada di bawah harapan tak pasti. Seperti kapal yang karam.
Baginya hidup adalah hari ini saja. “Yang penting senang, yang pentinga happy”
berbotol-botol arak menjadi penghangat mereka ketika mereka tak kuasa di siksa
dingin oleh amukan angin malam. Badan mereka hancur dari dalam. Siapa peduli?.
Aliran music bob marley, regge pun lebih ia gemari berdendang, bertalu-talu
menyesak ke lubang telinga mereka karena boleh jadi menurutnya ia lebih
menyuarakan tentang rasa merdeka,; merdeka atas hidup dan nasib.
Jika aku layangkan ingatan ini, ke sebuah masa di mana
aku juga pernah melihat komunitas ini, mereka lebih senang dengan jaket kulit,
atau bahan jeans temuanya Levi Straus, meskipun bukan merek asli. Merekapun
mengenal fashion/sehingga model pakaianya pun ada yang model rompi, model
lengan panjang dsb. Sering tertulis dengan huruf yang terbaca dengan jelas
“Rasta” dengan lambang gambar daun ganja, entah itu daun ganja kering atau
masih basah.
Soal hiburanpun mereka tak mau kalah, baginya motor
vespa butut yang di modif aneh-aneh hampir mirip mobil limousine presiden
amerika tapi versi gak “kuat ongkos”, sehingga besi tua panjang dan tukang las
bisa memenuhi harapannya dengan menyambungnya sepanjang yang mereka mau lengkap
dengan bak seperti tempat untuk ayam mengerami telur. Biasanya di taruhi
tengkorak kepala sapi di bagian depanya lengkap dengan tanduknya yang
menjulang, membuat tampak gagah menurutnya.
Falsafah hidupnya lebih seperti ingin merasakan
kebebasan dunia ini dengan penuh kebahagiaan. Mereka akan berbondong-bondong
dari satu tempat ketempat yang lain. Tapi bukan nomaden, karena tak pernah
punya tujuan pasti. “Yang penting senang, yang pentinga happy” kalimat itu
terus menjadi mascot untuk di dendangkan di hatinya yang ngilu meski kadang
mereka tampak tertawa-tawa satu sama lain karena bahagia semu.
Begitulah aku menyaksikan yang tertangkap oleh
pandangan mata , aku remas-remas hati ini, menyingkap semua yang telah aku
lihat, Kemudian rasa miris hinggap, di susul rasa prihatin. Mereka anak
Indonesia, anak bangsa ini juga, tapi tidak bersekolah. Miris. Siapakah yang
peduli pada mereka, sekali lagi mereka tidak bersekolah.
Tulisan ini aku persembahkan untuk kita renungi, dan mari bersama peduli
pada mereka jika masih bisa kita memberi kebaikan kepada mereka.
Di catat pada : 21 April 2014 Pukul 18:23 WIB di Wisma
Al-Banna Purwokerto
http://andiyantosangpembelajar.tumblr.com
Andi Yanto
Sang Pembelajar
==============
Twitter @andiyantosmile
PIN BB 7436105E
==============
Di tulis ulang dari Diary tercinta.
“Semangat menulis, satu hari minimal satu judul tulisan di tahun 2014”
0 komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca tulisan di atas, silakan berikan tanggapan/ komentar/ inspirasimu di bawah sini :