“Sampai kapan akan hidup hanya dengan karya yang nihil,
tinggalkanlah sesisa dari hidupmu walau itu hanya sekedar sebait kata
yang kau tulis.”
Apakah pernah
kita merasa bangga ketika telah melakukan beberapa hal, melakukakn
banyak kontribusi, berdiri tegak di atas bangunan harga diri dsb,
sadarkah bahwa perasaan itu semua hanya akan berakhir pada keadaan
mati tak bersisa , semua itu tidak akan ada apa-apanya jika tidak
meninggalkan sisa apapun, berbeda dengan matinya jazad yang akan
menyisakan tulang belulang yang bisa untuk mengenali kita nantinya.
Menulis,
itulah kata yang barangkali disarankan untuk menanggapi pernyataan di
atas karena ketika zaman dengan begitu beringas menggerus semua sejarah
kita, semua cerita kita, semua perihal yang membuat nama kita harum,
akan hilang begitu saja dilibas dan tertebas oleh pedang-pedang sang
waktu yang ganas berjalan meninggalkan kita yang terus menghilang bahkan
tiada, hanya ada satu cara yang akan membuatnya tetap ada, abadi dan
terhitung dalam deretan nama-nama yang kelak berpengaruh yaitu ketika
kita mau menulis, menulis dan menulis.
Ketika menulis kita
telah menyuruh sejarah melakukan aktivitas yang sama seperti yang kita
lakukkan pada saat itu, yaitu sama-sama menulis, kita menulis sejarah
kita begitupun dengan sejarah, ia menulis diri kita supaya kekal,
hakikatnya keabadian adalah ketika nama kits di ukir oleh pena-pena yang
menempel dalam lembaran sejarah dengan jujur, ketika ia melekat dalam
lembaran yang tertulis penuh kejujuran maka sejatinya nama kita akan
melekat abadi disana.
Petuah ini setidaknya menampar
kesadaranku untuk berbuat lebih banyak, dan menulis lebih banyak, “Jika
kita ingin mengenal dunia maka membacalah sedangkan jika kita ingin
dikenal dunia maka menulislah” entah sebarapa banyak karya yang mampu di
hasilkan dan seberapa besar kontribusi selama hidup menjadi pertanyaan
besar sekaligus PR yang pelu dikerjakan dan dituntaskan secara
maksimal.
Sebenarnya ini mejadi renungan bersama, betapa
deras aliran inspirasi itu megalir di fikiran , bahkan kita
kerap kebingungan akan di kemanakan leleran isi fikiran yang luber ini,
padahal di satu sisi yang lain tergelatak sebilah pena atau barang kali
satu set computer yang menuggu jemari menari-nari di atas tut keyboard
nya demi tugas mulia menilaskan semua isi fikiranmu kedalam layar
computer atau di atas lembaran kertas bermuatan yang di tulis oleh pena
yang di genggam tangan mu itu, lantas kenapa kita tak menulis?
Atau
barang kali masih ada disudut sisi yang lain, dalam geloranya
membolak-balik buku atau lembar-lembar kertas yang berisi ilmu, teori,
gagasan, nasehat atau doktrin yang mengering karena tinta yang tertanam
dikertasnya, biarpun mata terkadang mengantuk saat harus
memperhatikan huruf-huruf yang berpadu menjadi kata dalam barisan frase
yang kokoh menjadi kalimat, semua adalah ikhtiar demi terfahamkannya
fikiran akan maksud dari fikiran si penulis terebut. Dalam tahap
ini berharap bahwa penulis akan dengan baik hati menularkan isi gagasan
fikirannya kepada . Inilah aktivitas membaca :selalu khasanah atau
kebaikan yang di harapkan.
Ketika membaca menjadi ritual
yang membuat diri seakan diserang sindrom “kecanduan”, maka kadang ia
menjangkit seperti sakaw karena keberadaan dari buku kerap menjadi
kebutuhan nomer wahid yang tidak bisa ditawar, jadilah ia kutu buku yang
akan selalu bahagia dengan buku-bukunya dan yang membuat dia terobati
dari sakaw nya itu.
Membaca memberi kesempatan
besar untuk terbukanya fikiran, memiliki sudut pandang dan cara pandang
yang luas, dan sisi sensitif yang tinggioleh karena itu tak jarang ia
terkadang peka dan responsif terhadap sesuatu yang menimpa dirinya,
fikiranya ataupun cara berfikirnya. Ini berlanjut pada meluasnya ruang
dalam alam bawah sadarnya, seperti membuka langit-langit fikiran yang di
atasnya tergantung banyak sekali kosa-kata sehingga ketika menulis
fikiran akan bekerja mengambil kosa kata – kosa kata tersebut dalam isi
fikiranya, maka tak jarang jika mereka memiliki selera membaca yang
tinggi biasanya akan mampu menuangkan isi fikiranya kedalam
bahasa tulis, Pun jika mengalami kesulitan itu dikarenakan kurangnya
latihan saja.
Resolusi berfikir tidak hanya
berhenti pada saat membaca, tetapi bagaimana bisa berlanjut pada
aktivitas menuangkan gagasan dari benak fikiranya kedalam bahasa tulis,
itulah menulis itu sendiri. Ini menjadi tantangan tersendiri disamping
karena membutuhkan latihan terus menerus, menulis itu tak semudah
berbicara walaupun ketika berbicara bisa marasakan pandai, bagus dan
keren belum tentu ketika menulis akan menghasilkan hal yang tidak sama.
Meminjam kalimat bijak yang pernah dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer “ Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja
untuk keabadian.” Belajar menulis menjadi PR yang perlu di kerjakan
dan di tuntaskan untuk mendapatkan nilai yang bagus dan memuaskan,
tetapi nilai tersebut bukan sekedar nilai dimata manusia tetapi di mata
Allah.
Sang Pembelajar ( diambil dari diary tercinta )
0 komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca tulisan di atas, silakan berikan tanggapan/ komentar/ inspirasimu di bawah sini :