Di catat pada
: Jum’at, 5 Desember 2014 Pukul 18:33 WIB di Wisma Albanna, Purwokerto, Jawa
Tengah ( Beberapa hari setelah diary ini dibuat, Neneku menghembuskan nafas yang terakhirnya pada tanggal Senin, 8 Desember 2015 Pukul 09:43 WIB. Semoga Allah mengampuni segala dosa beliau menempatkan beliau disisi-Nya, Aamiin )
Seumpama
petir yang menyambar tak pernah peduli siapapun dihadapannya. Baik kaya,
miskin, tua atau pun muda, begitu juga ketika sakit hadir, ia pasrah saja pada
sang maha pemberi hidup; hendak kemana ia akan di tujukan.
Berita bahwa
neneku masuk ke rumah sakit tadi sore membuat aku kalap merasa sedih teramat
sangat. Telingaku bagaikan tersengat sesuatu yang rasanya terasa nyeri ke ulu
hati. Mungkin tak berlebihan jika aku merasa sedih yang mendalam atas keadaan
ini, di karenakan sebuah peranan yang ada bukanlah peranan pada umumnya.
|
Photo Aku di saat oernikahan adik perempuan sepupu aku. Tampak di situ wajah Neneku yang sangat aku sayangi yang kini telah semakin menua.
Dan aku baru sadar bahwa semenjak aku belia ditinggal alm Ibu, hanya itu photo satu-satunya aku bersama neneku. |
Nenek, sebuah
kata yang secara garis keturunan memang beliau adalah seorang yang wajar di
sebut sebagai orang tua dari orang tua kita, namun secara benih kasih sayang
yang telah beliau tumbuhkan di dalam jiwa maka beliau hampir menyerupai kasih
sayang seorang peri yang lazim disebut IBU, beliaulah yang telah membesarkan,
merawat dan mendidiku sejak kecil. Hingga kini aku tumbuh menjadi besar.
Aku gusar
segala ragam di timpa rasa cemas yang bertubi-tubi menyerbuku. Cemas ini
melahirkan rasa gamang yang perlahan namun pasti benar-benar membuatku merasa
trenyuh. Pasalnya neneku saat ini telah renta. Usianya sudah 85 tahunan lebih.
Di tambah lagi rasa cemas itu beranak pinak melahirkan kesedihan-kesedihan yang
sulit untuk aku tanggulagi.
Kawan,
sepenggal demi sepenggal kenanganku berkelebat, menampilkan bayangan memoir
yang hampir menyerupai layar bioskop, di situ aku masih ingat dan tergambar
dengan begitu jelas betapa kasih sayang nya tak akan pernah lekang, tak akan
pernah habis seperti air di lautan dan tak akan pernah tergantikan oleh apapun.
Dulu ketika
ibu kandungku meninggal dunia (usia 1tahun 4 bulan), maka sepenuhnya
hidupku menjadi tanggungan keluarga kakek dan neneku. Ke dua kakak kandungku di
asuh oleh ayahku. Sementara aku di asuh oleh kakek dan nenek atas permintaan
nenek. Namun bukan berarti ayahku tidak merawatku, peran ayahku tak pernah
berkurang sedikitpun karena walaupun aku ikut di rumah nenek namun ayahku juga
selalu rajin menjenguk serta membiayai hidupku. Semua karena keadaanku masih
bayi saat itu maka peran wanita lebih di butuhkan, maka neneku itulah aktris
terpilih dan tebaik sebagai pemeran kasih sayang yang menggantikan ibuku.
Masih ingat
dalam benak ini, ketika geliat tumbuh kembangku secara perlahan namun pasti
berangsur naik, usia yang juga semakin ranum bertambah secara perlahan. Waktu
itu ketika aku masih menjadi balita. Kenangan-kenangan berjejal mengisi neuron-neuronku.
Tak akan pernah bisa aku lupakan ketika masa kecil itu (sekitar tahun 1995 yang
mana listrik belum masuk di desaku , listrik baru masuk desaku kisaran tahun
1997 ),Kala itu aku selalu di ajak ke sawah karena kalau di tinggal di rumah
tidak ada yang mau momong aku (baca; menjaga/mengasuh)
sehingga ketika saat itu musim panen padi aku selalu di ajak ikut ke sawah oleh
kakek dan neneku. Jarak dari rumah ke sawah waktu itu sejauh 2 kilo meter lebih
jika di tempuh dengan jalankaki. Saat itu aku di gendong di punggung neneku. Merasakan
aliran hangat kasih sayang beliau yang merembas lewat punggungnya yang kini
sekarang semakin membungkuk karena sudah renta.
Aku menulis ini
dengan rupa-rupaemosi,kadang haru, lucu dan kadang juga sedih hingga air mata
ini berembun dansembab.
Ketika aku di
gendong neneku itu, aku diajaknya menyusuri jalan kecil di pematang sawah yang
mana cuma bisa di lewati oleh satu orang saja. Keadaanya becek,
licin,berkelok-kelok dan berlumpur maklum karena demikian keadaan sawah pada
umumnya. Waktu itu kakek membawa Gepyokan (sejenis alat perontok padi yang
terbuat darikayu yang berat) sedangkan nenek tak kalah luar biasanya, ia menggendong
aku degan mengikatkan aku dengan kain jarit dibadannya (
karena waktu tahun 1995 itu neneku fisiknya masih kuat) sedangkan tangan kanan
membawa sejenis timba berisi bekal makanan untuk seharian di sawah dan tangan
kirinya membawa tas plastik khusus untuk urusan sawah yang berisi arit dan
ani-ani (sejenis pisau tradisional untuk memetik tanaman padi yangmasih
tersisa). Kami berjalan menyusuri sawah demi sawah melalui pematang yang kadang
licin, berkelok dan becek.
Semua terkesan
begitu hangat kasih sayang mereka. Ada hal yang paling heroik yang
masih aku ingat adalah ketika nenek dan kakek menyebrang sungai langsung karena
saat itu plawotan (jembatan kayu penghubung) di sungai itu
patah. Kakek dan neneku terpaksa mau tidak mau harus menyebrang sungai yang
dalam permukaan air nya sampai seleher neneku. Aku pundi angkat nenek dengan
kedua tangannya seperti pemain sepak bola yang akan melempar bola out sambil di
bantu oleh kakek.
Betapa saat
penyebrangan itu dilakukan dengan sangat hati-hati, Dengan akselerasi dan
presisi yang tepat. Salah langkah sedikit saja atau terpeleset maka alamat aku
bisa tercemplung jatuh dan hanyut di sungai yang airnya keruh coklat dan deras
arusnya itu. Bahkan di tahun 1995 itu sungai itu masih ramai terdengar isu ada
buaya nya. Alhamdulilah selamat.
Setelah sampai
di sawah, aku di taruh lebih tepatnya didudukan di pematang sawah yang tidak
terpapar matahari langsung biar tidak kepanasan dan di dudukan dengan di bagian
tanahnya di alasi kain jarit. Sementara kakek dan neneku bekerja
merontokan padi yang sudah di babat (sudah dipotong untuk di
rontokan). Kala itu aku jujur masih telanjang bulat tidak memakai pakaian.
Jadi cukup di
tutup kain saja begitulah anak kampung pada umumnya di tempatku pada zaman itu.
Kawan, Aku sudah sering di bawa ke sawah setiap kali kakek dan neneku pergi ke
sawah. Orang yang kurang suka akan mengatai kakek dan neneku terlalu sayang
sama “Anak Emas” nya. Anak emas yang di maksud itu adalah aku. Tidak lebih
tidak kurang.
Ketika aku
menunggu kakek dan neneku selesai merontokan padi, maka it`s time for
me to play a game, dan aku siap bermain sepuasnya. Bermain apapun di
sekitar tempat aku duduk di pematang sawah.
Dulu pernah
kakeku mengkapkan aku katak sawah yang besar (di kampungku di sebut Bangkong) yang
di ikat dengan tali dan di kasihkan ke aku. Aku bisa senang sekali saa itu.
Namun hari itu aku bermain permaninan yang lain. Dan karena polosnya aku kala
itu, aku kesengsem dengan gundukan tanah yang kering sendirian di saat yang
lainnya basah dan becek namun gundukan itu kering sendirian sehigga menarik
perhatianku lagi pula gundukannya juga seperti berbentuk pasir, Aku
tertawa keasyikan saat melihat ada banyak binatang kecil berwarna merah yang
imut-imut sedang berlalu lalang keluar masuk di gundukan tanah itu.
Aku pun
mendekati gundukan tanah itu dan dengan perasaan bahagia tidak terperi aku pun
menyetuh dan memukul gundukan itu dengan telapak tangan dengan polosnya
berulang-ulang begitu inocent hingga “Bruk”, Gundukan
itu hancur amblas, remuk porak-poranda dan binatang merah imut-imut yang
aku lihat itu keluar semakin banyak, semakin banyak danmemenuhi sekitar
gundukan tanah di sekitarnya. Kemudian merayap menjalari tubuhku, mula-mula
dari tangannku yang ketika itu masih menyentuh gundukan tanah, kemudian
sebagian lagi merayap melalui kaki dan dalam hitungan detik secara simulatan kulitku
merasakan nyeri, sakit, perih dan panas yang teramat sangat. Aku pun menjerit
menangis sejadi-jadinya, badanku di kepung semut api yang ketika menggigit
rasanya bikin terbakar. Malang sekali.
Kawan, Aku
memang merekam semua yang aku lihat dan yang aku dengar kala itu, semua
ingatan begitu kuat membekas. Entahlah, semua seperti bergerak dalam keadaan
aku merekamnya. Mata ini dan ingatan ini seakan tidak lupa dengan adegan yang
penuh memori itu. Begitu penyayangnya neneku itu, begitu juga kakek. Namun
aku belum bisa membalas kasih sayangnya hingga kini. Mungkin tak akan
terbalaskan kasih sayangnya itu. Karena terlalu besarnya.
Tidak hanya
itu. Kenangan demi kenangan juga mengisi sesak di benak. Saat aku masih balita.
Aku yang terkenal begitu bandel dan nakal sering kali membuat ulah di mushala
di desaku. Mushala Baitul Makmur namanya, Aku beruntung dan bahagia karena
sudah sejak kecil di ajari sholat oleh neneku. Sehingga ketika tiba waktu
sholat aku selalu di ajak ke mushala untuk sholat berjamaah Maghrib dan Isya.
Seperti biasa aku selalu di gendongnya.
Aku anak cowo,
namun aku lebih suka bersama dengan nenek, berada di sampingnya setiap saat
sehingga waktu sholatpun aku selalu berada di dekat neneku di ruang jamaah
perempuan. Tak urung keadaan ini membuat aku merasa asing sendirian karena di
jamaah perempuan aku mahluk bocah berjenis kelamin laki-laki ingusan sendirian.
Dan otomatis
yang paling nakal dan bandel. Ketika yang lain sholat aku akan dengan jahil
mengganggu para jamaah perempuan yang sedang sholat. Dan karena aku masih anak
kecil, aku sering mendapatkan kompensasi berupa
permaafan dan permakluman dari para jamaah perempuan.
Kenakalanku
belum tertandingi kala itu, kadang suka menarik sajadah, menarik mukenah atau
usil ganggu berlari-lari di sela-sela shaf perempuan. Kadang suka ikut menjawab
“aamiin” dengan suara berteriak panjang dan nyeleneh. Kontan saja ada yang
kaget mendengar suara anak kecil laki-laki di jamaah perempuan. Hingga pernah
iseng duduk tepat di depan shaf Jemaah perempuan sehingga ketika perempuan
tersebut akan ruku dan sujud, kebingungan karena tempat untuk sujud sudah di occupy oleh
ku.
Hingga
puncaknya aku di tegur oleh tokoh ibu-ibu berpengaruh di desaku lantaran
kenakalanku yang kelewat batas itu. Sehari setelah itu, aku pun tak jera atau
reda kenakalanya, namun gantian yang aku ganggu neneku sendiri. Yaitu ketika
sujud aku selalu naik di atas punggungnya. Begitu indah kenangan itu. Masih
terendam hangat di ingatan ini. Aku sangat sayang neneku.
Moment
itu seperti rajutan, yang dipintal dari benang-benang pengalaman hidup. Dan
benang-benang itupun berwarna-warni. Seperti pengalaman itu sendiri.
Suatu keadaan
memilukan terjadi yaitu ketika aku terpengaruh pergaulan teman-teman saat aku
kelas 4 SD yang saat itu kebanyaka nteman-temanku tidak mau berangkat sekolah.
Tidak cuma itu aku juga sempat kabur dari rumah, istilahnya minggat karena
bosan sekolah. Maka hal itu menjadi pemicu amarah buat kakeku yang super
disiplin (maklum beliau pernah jadi mandor penjaga tebu saat pabrik Gula
Banjaratma beroperasi sejak masa Belanda) akhirnya aku di marahi habis-habisan,
Kakeku yang sudah merasa kecewa telah mengasuh aku namun tidak mau sekolahl
angsung memarahiku.
Tidak Cuma
itu, aku pun di cambuk dengan kayu dari pohon cabe yang telah kering sehingga
rasanya perih melirih. Aku tidak pernah menyesal dengan cara kakeku mendidik
aku seperti itu, karena itulah bentuk perhatian kasih sayang kakeku saat itu.
Namun dalam
keadaan yang sama neneku berperan sebaliknya, beliau kadang rela bela-belain
bertengkar dengan kakek yang super disiplin itu demi aku, . Beliau (neneku)
teramat memanjakanku, manja disini dalam artian membela aku karena mungkin
kasihan melihat aku di cambuk pake kayu cabe kering ketika tidak mau berangkat
ke sekolah. Aku yang kala itu sakit meredam lara perih sering di bujuk oleh
nenek ku untuk diam berhenti dari menangis dan setelah itu, neneku memandikanku
dan menyuruhaku sarapan.
Aku mengambil
sebuah pelajaran bahwa dalam hal ini, peranan sisi naluri feminim dan naluri
maskulin (dalam hal ini pria dan wanita) memang harus seimbang ketika sedang
mendidik anak. ( Dalam halini cucu lebih tepatnya, cucu yang sudah seperti anak
sendiri.) Peranan kakeku yang super tegas dan nenek yang lemah lembut.
Pengaruh
lingkungan begitu besar, saat itu pengaruh teman-teman yang sering bolos
sedikit banyak telah meracuni ku. Saatitu aku merasa berontak pada aturan kakek
ku yang menyuruh aku sekolah, akumerasa tidak puas yang akhirnya membuat aku
kabur dari rumah sebagai bentukberontak, kala itu aku tidak tau apa-apa tentang
pentingnya sekolah sehinggaaku memilih untuk bolos dan kalaupun berangkat aku
memilih ikut bersamateman-teman tidak masuk ke kelas dan lebih memilih bermain
di luar. Mandi disungai saat jam pelajaran berlangsung setelah itu tidak mau
pulang ke rumah. Sungguh liar.
Kabar kalau
aku tidak masuk sekolah itusampai di telinga kakeku. Maka dikarenaakn rasa
marah yang memuncak dan karena tau aku jarang masuk sekolah, kakekkuterus
mencari aku yang beberapa hari tidak mau pulang, aku di jemput paksa pada malam
hari karena tau persembunyiannku yang tidak lain di rumah teman sendiri.
Ketika tau aku
ada di situ aku langsung di labrak dengan kayu pohon cabe yang
sudah kering. Sambil meronta aku menangis kesakitan dan di ajak pulang menuju
ke rumah, dan sesampainya di rumah aku pun di marahi habis-habisan.
Neneku selalu menjadi pihak yang selalu membela ku. tetapi membela disini maksudnya
membela dalam bentuk melindungi. (Dalam hal ini,mungkin tindakan kakeku
terkesan kejam, tapi justru saat ini aku bersyukur dan sangat berterima kasih
sekali kapada kakek karena telah membesarkan aku dalam didikan bahwa pendidikan
itu sangat penting, makanya beliau selalu tegas dalam hal pendidikan hingga aku
bisa kuliah dan soal kayu pohon cabe ; di daerah ku memang penghasil tanaman
bawang merah dan cabe sehingga wajar kalau banyak pohon cabe yang di jadikan
kayu untuk memasak dengan tungku tradisional.)
Tepat satu
hari sebelum itu, neneku telah mencari aku berhari-hari namun tidak menemukan
tempat persembunyianku, pernah saat itu di malam hari sekitar pukul 11 malam,
aku sedang bersembunyi karena sedang di cari neneku untuk pulang.
Aku
bersembunyi di sebelah rumah yang gelap tidak ada penerangan, dari bilik rumah
itu, aku melihat neneku yang sudah bolak-balik jalan kaki mencari-cari aku,
bertanya kesana kemari, sesekali bertanya kepada warga di sekitar yang sedang
bermain catur dan krambol di saung ikhwal keberadaanku. Namun
seperti yang sudah aku tebak, nihil --semua menjawab tidak melihatku.
Kawan,
Perasaanku kecut sekali saat melihat perjuangan neneku ketika mencari aku di
malam hari yang dingin itu, Aku gamangkala itu, namun ego ku begitu besar. di satu
sisi aku kekeh tidak mau pulang karena sedang marah dengan kakek, namun di satu
sisi yang lain neneku sudah tampak lelah mencariku. Bayangkan hati siapa tidak
gerimis melihat seorang nenek yang begitu penyayangnya bela-belain mencari
cucunya yang kabur beberapa hari gara-gara tidak mau sekolah. Jujur, sebenarnya
kala itu aku protes dengan cara mendidik kakeku yang keras, namun baru sadar
kalau aku yang salah. Anak-anak di desaku pada generasi jamanku begitu susah di
atur, kalau orang tua kalah dan menyerah dalam mendidik anak maka biasanya
anaknya akan putus sekolah karena orang tua tersebut menyerah ketika
anak-anak mereka minta keluar sekolah.
Anak-anak
memang lebih suka bermain. Namun kakeku tau porsi untuk hal itu dan bagaimana
pembagiannya. Beruntung aku tidak jadi keluar sekolah SD semua juga karena
kakekku yang begitu peduli tentang pendidikan. Meskipun keras kelihatannya.
Kakek dan
Nenek ku adalah hartaku seutuhnya. Mereka memberiku begitu banyak hal yang tak
pernah aku memintanya.Bahkan air matanya tak segan menangis ketika tau aku
sakit di dalam perantauan ini, begitu kuat pertalian batin ini sehingga
segalanya seolah seperti manunggal. Seperti telepati, gema rindunya bisa
sanggup aku dengar dari sini, di perantauan. Apalagi ketika beberapa minggu
yang lalu nomerku susah dihubungi.
Beliau tak tak
segan memaksakan diri untuk berkunjung menjenguku diperantauan, beruntung aku
langsung meneleponnya. Karena kalau tidak kasihan jauh -jauh kesini. Ketika aku
telephone aku merasakan kata-katanya sudah terlalu lalu lama tersumbat
didalam genangan rindu yang teralalu berat.
Sungguh begitu
banyak hal yang tak bisa aku lupakan dengan neneku. Seperti larutan
yang telah tercampur kedalam air, maka begitulah kenanganku dan kasih sayangnya
yang tidak akan pernah terpisahkan. Selamanya akan larut, larut menjadi satu.
Satu cinta dan kasih sayang sejati untuknya.
Barusan aku
dengar neneku sakit, aku sedih mendengarnya, besok aku akan pulang menjenguknya
langsung di rumah sakit. Sudah beberapa kali aku bermimpi bertemu dengan
beliau. Kemarin 3 hari yang lalu aku meneleponnya katanya sehat. Namun sekarang
sakit.
Beginilah
hidup segalanya penuh dengan kerentanan, segalanya penuh dengan keadaan yang
sangat mudah untuk lemah,neneku yang ku cintai , sakit mu begitu aku rasakan
karena aku tak ingin engkau sakit lagi, , melihat gurat wajahnya
yang mulai tampak berkerut-kerut , belum lagi tubuhnya terlihat begitu
ringkih, memilukan melihat kedipan matanya yang terlihat lemah, aku tak mau
menyaksikan ini terjadi pada neneku, Aku sungguh menyayanginya namun aku
terlalu munafik untuk berkata seperti di sinetron –sinetron yang mana dengan
bantuan sutradara kalimat ini akan keluar dengan begitumudah “Nek,andi sangat
menyayangi nenek, nenek cepat sembuh ya, nenek cepat pulih kembali ”.
Aku ingin
neneku segera sembuh semoga Allah memberikan kebaikan kepada nenek kebaikan
berupa kesembuhan dan kebaikandalam hal kesehatan.
(Setelah beberapa hari setelah diary ini dibuat, Neneku menghembuskan nafas yang terakhirnya pada tanggal Senin, 8 Desember 2015 Pukul 09:43 WIB. Semoga Allah mengampuni segala dosa beliau menempatkan beliau disisi-Nya, Aamiin )
Andi Yanto
“Semangat menulis satu hari minimal satu judul
tulisan di tahun 2015”
0 komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca tulisan di atas, silakan berikan tanggapan/ komentar/ inspirasimu di bawah sini :