Sabtu, 9 November , 2013 pukul 15; 43 WIB di Kutek kota Depok
Khusyu itu seperti membumbung semakin keatas-semakin mengambang dan membentur langit-langit dan dinding kamar . Jemariku tak mau lepas
bercumbu dengan nut keyboard laptop Toshiba keluaran tahun 2007 yang telah menolong aku mengendapkan isi
fikiranku kedalam bahasa tulis. Sore yang menurutku cukup panas di kota Depok, apalagi posisiku di sebuah ruang persegi yang disebut
kamar milik sahabatku, Langitantyo Tri Gezar. Aku akrab
menyebutnya Langit. Panasnya membuat aku memilih kipas angin dengan speed level ke 3.
Ini kali ke 4 aku meminjam laptopnya sahabatku; Langit -- untuk mengerjakan sebuah deadline
menulis sebuah artikel tentang pahlawan yang diperuntukan sebagai artikel
pengisi blog di sebuah Organisasi tingkat ASEAN bernama Nusantara Young
Leaders. Yang alhamdulilah sudah sudah selesai dan terupload di sebuah blog dan
bisa di baca di link ini.
*********
Awalnya aku merasa tidak ada yang salah dengan keadaan hari
itu. Aku masih menunggu sebuah jawaban pesan SMS dan What App dari 2 orang. Pertama pesan SMS dari temaku yang bernama Ardi Setiawan
, dia sahabat kampus ku di Universitas Jenderal Soedirman yang kebetulan dia
akan membeilkan aku sebuah tiket untuk pulang dari agenda IMUN (Indonesia Model
United Nations) 2013 di Universitas Indonesia, pesan yang aku tunggu adalah
pesan konfirmasi apakah dia jadi membelikan aku sebuah tiket kereta atau tidak,
karena 1 hari sebelumnya dia sempat berjanji mau membelikan aku sebuah tiket
kereta api khusus untuk tiket kereta Api kelas Ekonomi AC dengan syarat harga
kisaran Rp. 50.000.
Sementara yang kedua adalah pesan dari Whats App dari seorang sahabat yang aku kenal di sebuah acara Forum
Indonesia Muda (FIM) , Ia bernama Renita Putri Maharani atau akrab di panggil
Rere. Rare adalah mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia tahun angkatan 2010.
Kalau dari secara usia dan penampilan dia termasuk masih sangat muda karena dia
kebetulan peserta program kelas Akselerasi Generasi ke 5 di SMA nya dulu SMA 1
Sukoharjo. Terus kenapa aku menunggu pesan Whats App dari dia? Karena pada hari sabtu pagi pukul 10:01 WIB aku sempat di mendapatkan pesan Whats App dari dia yang intinya mengajak aku untuk ikutan berkunjung di sebuah RUMBEL
alias Rumah Belajar di daerah Jakarta. Maklum Rere ini tergolong mahasiswa yang
aktiv melakukan kegiatan sosial jadi kalau ngajak jaln-jalan alternatifnya
adalah RUMBEL.
Melalui pesan Whats App, Rere bercerita kalau agenda kunjungan akan di lakukan pada sore
hari.
Mendapat tawaran dari Rere, aku langsung mempertimbangkan
banyak hal yaitu antara aku ingin ikut bersama dia dan teman-teman untuk
berkunjung di Rumbel, atau membeli tiket kereta Api untuk perjalanan
pulang nanti. Aku pertimbangkan yang pertama yang pertama yang
berkunjung ke Rumah Belajar, karena untuk urusan tiket kereta api,
kebetulan Sahabatkuku yang bernama si Ardi sudah bilangke aku bahwa dia
akan siap membelika aku tiket untuk akunpulang, sementara kesempatan berkunjung ke
Rumbel dalah sebuah moment yang tidak ingin di lewatkan, sehingga aku sms untuk
konfirmasi ke Ardi , apakah dia jadi membelikan aku tiket atau tidak. Dan
hasilnya dia bilang dia akan membelikan aku tiket kereta Api tapi untuk kelas
Ekonomi saja.
Melihat ada dua Agenda yang salah satunya aku merasa sudah
ada yang menghandle, yaitu pembelian tiket, maka aku putuskan untuk berkunjung
ke sebuah RUMBEL yang di janjikan oleh Rere, akupun juga tidak mau membiarkan
Ardi kesusahan mencari tiket yang katanya akan dia beli pada pukul 12.30 WIB
siang di Stasiun Pasar Senen. Sementara rumahnya dia ada di Bekasi. Jadi aku
berinisitaif mencoba mengajak Langitantyo, untuk mencari Indomaret untuk mengecek
persediaan tiket kereta api supaya Ardi nanti
tidak perlu repot. Akhirnya aku dan Langit pergi ke Indomaret untuk memesan,
namun sayang sekali di Indomaret tidak membuahkan hasil. Akhirnya baru ingat
kalau akses pemesanan tiket kereta api bisa melalui online.
Setelah mencoba mencari secara online akhirnya aku menemukan
bahwa dari Stasiun Pasar senen menuju ke Stasiun Purwokwerto tempat aku akan
pulang haya ada tersedia Kereta Bengawan dengan harga Rp.50.000 yang artinya
secara tidak langsung akan di belikan oleh si Ardi. Aku mengabari dia melalui
sms. Begini isinya :
Bro, Perjalanan Pergi Bengawan 10 November 2013 PSE (Pasar
Senen) Ã PWT (Purwokerto) Bengawan IDR 50.000.00 Pukul 13:00 Ã 18.03 WIB.
Setelah mengabari Ardi, aku lagsung pulang bersama Langitantyo menuju ke kosannya dia. Di kosannya langit aku
masih memikikan agenda kunjungan ke Rumbel.
***************
Langitantyo bilang
kepada aku kalau siang hari sekitar jam 12.00 WIB dia akan berangkat ke kampus untuk
melaksanakan agenda rutinitasnya, maklum sahabatku yang satu ini adalah aktivis
yang sangat menyukai gagasan. Dia adalah mahasisa yang aktiv dikegiatan
kelompok diskusi, jadi kalau kamu suka berdiskusi tentang keilmuan dan
kebijakan publik silakan berdiskusi dengan dia. Dia adalah mahasiswa
Komunikasi Universitas Indonesia tahun angkatan 2010. Pengetahuan Langitantyo
termasuk luas. Itu bisa terlihat juga dari buku-buku bacaan dikamarnya yang
banyak dan buku dari berbagai disiplin Ilmu yang cukup merepresentasikan
pengetahuanya.
Setelah dia
bernagkat ke Kampus selanjutnya hanya ada aku yang ada di kosan Langitantyo.
Sehingga aku memnafaatkan waktu luang untuk menulis beberapa hal penting yang
ahrus aku kerjakan.
***************
Pukul 15:44 WIB,
aku menerima sebuah pesan singkat dari Ardi , sahabatku yang berjanji
membelikan aku tiket pulang.
“Haduh, ndi
Tiketnya nya habis,”
Aku pun balas sms
dia.
“Kamu jadi beliin aku tiket apa, Ga?
Setelah aku
membalas sms ardi, Aku khahwatir dengan ketiadaan tiket yang aku pesan, namun
di satu sisi juga aku harus menanyakan keastian tentang kunjungan ke Rumbel
yang telah di janjikan. Aku buru-buru buka Aplikasi Whats App di hand phoneku.
Aku cari history chatt ku dengan Rere, masih terlihat pesan Whats App ku yang
belum sempat Rere balas, mungkin dia masih sibuk dengan persiapan ke Rumah
Belajar atau RUMBEL yang sesuai rencana akan kami kunjungi bersama, aku segera
kirim pesan ke Whats App nya Rere, “”Gimana, jadi apa ga yang ke RUMBEL nya?
Rere pun membalas
pesan Whats App ku “Aku ga jadi , Andiyanto”
Aku segera balas
lagi “Terus yang lainya jadi apa ga pergi ke rumbel?
“Engga Juga, haha
Aku lupa kalau ada agenda Hari ini”
Ternyata Rere
sedang ada agenda hari itu, mungkin karena sedang sibuk dengan agenda dia lupa
konfirmasi memberi tahu ke Aku. Beberapa menit kemudian Ardi membalas sms ku
yang pertama kali “Maaf Ndi, Aku gak beliin kamu tiket , adanya tiket bisnis
Mahal banget harganya, aku ga bisa beliin kamu kalau yang tiket bisnis, bisanya
yang Ekonomi”
Aku merasa seperti
mendapatkan 2 berita yang mengagetkan, pertama dari Rere yang ternyata tidak
jadi berkujung ke Rumah Belajar. Dan kedua dari Ardi yang tidak jadi membelikan aku tiket
karena tiket ekonomi sudh habis sebelum dia beli , walaupn ada, yang ada tiket
kelas busines yang tergolong mahal jadi Ardi belum bisa membelikan aku tiket.
Dalam hal ini aku sangat menghargai keputusan Ardi karena saat itu Ardi
kebetulan sedang kritis dalam hal keuangan, namun karena sikap baiknya dia,
walaupun uang sedikit tetapi masih sempat berusaha menwarkan kebaiakn dnegan
cara mau membelikan aku tiket kereta api kelas Ekonomi.
Sementara di sudut
ruang kamar nya Langitantyo, aku merasakan gelisah, gusar dan sedikit “Galau” karena dua hal yang menimpa aku, Namun aku ga mau menyerah aku segera buka Hand phone
Android ku. Aku buka opera mini dan langsung browsing ketersediaan tiket kereta api kebetulan dari Pasar Senen semua
sudah habis yang kelas Ekonomi sedang kan yang dari Stasiun Jakata Kota. Masih
ada tiket yang tersedia yaitu tiket Gaya Baru dengan harga Rp.55.000, aku
seperti mendapatkan air segar dikala haus, Aku bahagia bukan main.
***************
Setelah tau bahwa
di stasiun Jakarta Kota tiket masih ada, maka aku bergegas menuju ke Satsisun
Jakarta kota. Aku waktu itu masih memakai sarung dan kaos karena memang tidak jauh
dari sholat Ashar. Aku kesana sendirian karena kebetulan Langitantyo sedang ada
kegiatan di kampusnya sedangkan, Rere waktu itu masih dengan agendanya.
Hari Sabtu kebetulan Bikun (Bis Kuning) Universitas Indonesia yang biasa
beropersi ternyata libur, padahal aku berdiri lama menunggu Bikun (Bis Kuning) tersebut ternyata memang
sudah tidak beroperasi di luar jam 2 siang. Beruntung waktu itu Rere bersedia
memanduku lewat Pesen Whats Up nya. Akhirnya aku menggunakan ojek atas usul Rere untuk
sampai ke stasiun UI terlebih dahulu,
Setelah sampai di
stasiun UI aku bergegas secepetanya menuju ke loket pembelian tiket
Commuter Line, disana aku
mendapatkan pelayanan yang baik. Namun kereta Api Listrik sudah berhenti cukup
lama yang artinya akan segera bernagkat. Aku buru-buru berangkat kesana menuju
keret Api, Setelah memasuki kereta Api listrisk Commuter tersebut, aku segera menyusuri
gerbong demi gerbong untuk mendapatkan tempat buat duduk, namun tidak dapat
akhirnya aku berdiri.
Setelah kereta
mulai berjalan bertolak dari stasiun UI menuju staiun Jakarta Kota, aku seperti
merasa ada yang kurang, aku cek saku celanaku dan ternyta di dalam saku
celananku tidak aku temukan PIN Card comuter line yang
tadi aku taruh. Aku cemas dan bingung namun waktu itu aku
masih memilih diam seribu bahasa, namun kemudian aku berfikir bahwa tak akan adqa gunanya jika
hanya diam seribu bahasa, maka aku beranikan untuk bertanya dengan salah seorang pemuda yang masih sebaya dengan aku tentang kehilangan
kartu apakah nanti bisa keluar atau tidak.
Namun kata orang
tersebut setiap PIN CARD yang hilang harus di gantikan
dengan uang sebanyak Rp 50.000. Sungguh waktu itu aku tidak membawa uang banyak
, hanya memebawa uang kisaran 100 ribuan da beberapa uang ribuan di saku, jika aku berikan
Rp.50.000 sebagai denda, maka aku hanya bisa memakai sisanya yang
jumlahnya sangat mengkhawatirkan apakah mampu untuk aku pakai untk bayar tiket
yang harganya Rp.55.000. Aku sungguh bingung kala itu.
Kereta commuter line membawa ku seperti
kurungan besi yang berjalan dengan tenang, meski secara fisik aku tenang namun sesekali aku merasakan kegelisahan yang
teramat sangat berkecamuk, sementara mata ku sesekali menyaksikan gugusan
rumah-rumah warga, gedung-gedung yang berlesatan, seolah menyaingi laju kereta
commuter line yang sedang aku tumpangi, aku tau, hari saat itu menjelang senja,
aku tengok di jam hand phone ku menunjukan pukul 17.33 WIB, suasana
senja di dalam kereta comuter line sungguh berbeda dengan senja di alam luar
sana.Indah bukan main
ketika melihat kea rah luar.
Senja seolah acuh
dengan kecamuk gelisah yang aku rasakan. Aku terus di landa kecemasan teramat
sangat, bukan masalah jumlah uang Rp 50.000 melainkan karena keterbatasan uang
yang aku bawa saat itu. Memang hari itu adalah hari sabtu bertepatan dengan
tanggal 9 November 2013, sedangkan aku
harus pulang hari minggu besoknya supaya hari senin aku sudah berada di
Purwokerto karena ada mata kuliah yang tidak bisa aku tinggalkan.
Aku terus
membayangkan kalau aku tidak kebagian tiket hari itu, ketakutan utama adalah
aku akan pulang telat dan berdampak aku tidak bisa mengikuti mata kuliah
favourit ku “Brtisih Culture” yang akan di laksanakan hari seninnya.
Selama di Commuter
Line, aku merasakan suasana yang sangat tidak akrab. Mereka hampir sebagian
besar tampak menaruh rasa curiga satu sama lain. Mulut mereka diam seribu
bahasa seolah berada di tempat sunyi sendirian. Sementara aku perhatikan
disebelh kananku ada seorang pemudi yang sibuk mengutak-atik gadjetnya, ada
juga pemuda yang sibuk sms-an, ada yang sibuk berbincang-bincang sambil
tanganya terus memegang erat-erat tas yang ia bawa seolah siaga siapa tau di
copet, bahkan ada juga penumpang anak muda yang duduk dengan santainya
sementara di depannya adalah kakek renta yang berdiri sambil tangan berpegangan
gantungan handle yang sudah disediakan. Sementara aku memilih berdiri.
Mengamati berjejer gedung yang berlesatan karena memiliki mementum kecepatan
yang berlawanan dengan laju Comuter Line.
Saat di dalam
Comuter Line sempat juga menanyakan kira-kira apa solusi buat korban kehilangan
Pin Card seperti aku. Ada beberapa di antara mereka yang menawari aku untuk
mencoba kabur saja ketika baru turun dari kereta, ada juga yang menawari aku untuk
mengekor di belakang penumpang ketika akan keluar dari stasiun kota Jakarta.
Semua tawaran yang
aku terima semuanya menggoda, dari banyak tawaran yang di ajukan hanya ada satu
yang menurutku baik, yaitu aku di minta melapor ke satpam siapa tahu ternyata
di bebaskan karena berbuat jujur. Dan aku tahu keputusan untuk cara terbaik
adalah melaporkan kepada satpam penjaga pintu keluar. Akhirnya aku keluar dari
Commuter Line dan langsung berhambur ke arah satpam penjaga pintu keluar yang kala itu masih
sibuk mengatur para penumpang yang baru keluar. Aku langsung mencari satpam
yang sedang tidak terlalu sibuk.
“Assalamualaikum ,
permisi bapak, Saya Andi Penumpang Comuter Line dari stasiun UI ke Jakarta
Kota, mau melaporkan sesuatu” Ucapku melapor.
“Waalaikum salam,
maaf Mas Andi ada apa? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Stapam Stasiun dengan
perangai tidak bversahabat.
“Saya mau lapor
kehilangan sesuatu?”
“Mari kesana dulu
sebentar, mas” Bapak satpam mengajak aku ke temapt yang jauh dari keramaian.
“Siap, pak”
“Mau lapor apa
mas? Ada yang hilang?”
“Ya bapak, saya
kehilangan sesuatu bapak”
“Kehilangan apa?
Uang atau barang-barang?”
“Kartu Pin, yang
buat keluar dan masuk hilang, jatuh entah dimana. Setelah saya cek ternyata
saku celana saya sobek jadi jatuh”
“Aduh, mas. Kenapa
bisa sembrono begitu?”
“Mohon maaf bapak,
saya tahu saya salah, saya juga tahu caranya mempertanggung jawabkannya,
melaporkan semua ini ke pihak keamanan, jadi saya butuh solusi bapak, kira-kira
apa yah solusinya apa ya?” Aku menjelaskan dengan nada lembut dan berusaha se
diplomatis mungkin supaya bapak Satpam tadi tidak galak lagi.
“Ya mas, kami tahu
itu. Paling mas tetap harus sesuai peraturan mas, silakan lihat no mer 2 di
tembok itu” bapak satpam menjelaskan dengan nada yang mulai menurun dan
terkesan lebih ramah dari sebelumnya sambil menunujukan jempolnya ke arah
tembok yang disitu tertempel poster tenatng hukuman bagi pelaku pelanggaran kehilangan pin.
Disitu tertulis
point 2 dari beberapa point berbunyi “Jika kartu PIN anda hilang maka di denda dengan membayar denda
sebesar Rp.50.000”,
Waktu itu aku
iseng ingin mencoba biar tidak usah bayar denda dengan melalui usaha negosiasi dulu, Mengatur siasat sekaligus
mempraktekan ilmu public Speaking ku, sempat kepikiran untuk berniat seperti
ini (Jangan di tiru), namun stelah itu aku berfikir lagi bahwa ini bukanlah
jalan yang bener, aku hanya ingin denda nya jangan saat itu, jadi aku berharap
dendanya tidak terlalu besar karena waktu itu kondisiku kritis karena hanya
membawa uang terbatas.
“Mas Bagiaman mana? Langsung di bayar sekarang? ” tanya
bapak Satpam mengagetkanku yang waktu itu masih membaca poster tersebut.
“Iya, Baik bapak , Saya bayar sekarang saj bapak. Say
bingung duit saya tinggal segini” Sambil menunjukan uang sisa setelah di potong
Rp.50.000 untuk membayar denda.
“Oke, mas, saya siap bantu mas,” pak Satpam sedikit
menenangkan aku.
“Terima Kasih, bapak, kira-kira sekarang ada apa ga tiket
yang murah bapak? Saya khawatir uangnya tidak cukup buat beli tiket pulang.”
“”Baik lah ayo ikut saya. Mana kartu Identitas Mas” Bapak
satpam mengajak aku keluar dari pintu pengecekan menuju ke tempat Informasi
pembelian ticket.
Waktu sudah menunjukan pukul 18.07 WIb di jam tanganku.
Sementara aku belum dapat tiket. Aku memperhatikan bapak satpam yang sedang
berdiskusi dengan petugas Informasi.
“Mas Hadi, ticket dari Jakarta Kota yang melewati Stasiun
Purwokerto berapa?” Tanya bapak Satpam kepada petugas Informasi.
“Ada pak, untuk yang Executiv Rp. 330.000 ” jawab petugas
sambil mengecek di layar computer.
“Yang kelas economi ada?”
“Sudah habis”
“Bisa usahakan apa tidak. Ini ada yang butuh”
“Ya, sebentar saya carikan, kenapa ga dari tadi siang, kalau
jam segini biasanya tiket sudah habis”
“Ya mas ini tadi habis berbuat jujur, dia ngaku kalau dia
habis nglanggar aturan, hari gini di Jakarta jarang sekali ngaku.”
Aku kaget mendengar informasi itu, Disitu tampak bapak
satpam sedang berdiskusi seperti sedang bernegosiasi. Apalagi kalau bukan soal
ticket yang aku tunggu-tunggu. Sementara aku masih lusuh menunggu.
Beberapa saat kemudian.
“Ayo Mas, beli tiket nya.” Bapak Satpam mengajak aku ke
tempat loket pembelian ticket kereta Api.
“Bapak, terima kasih ya telah banyak membantu” ucapku serius
berterima kasih.
“Saya yang berterima kasih karena mas, telah jujur mengaku
telah melanggar” jawab bapak satpam menanggapi.
“Lho, kenapa hanya karena aku mengaku saja, kok bapak berterima kasih sama saya” tanyaku heran.
“Ya, mas disini orang-orang salah pada rese bahkan yang sering muncul di ANTV saja,
sudah tau dia salah tetap tidak mau mengaku. Ketika saya minta paksa, malah dia
memarahi saya. Jujur saya kecewa dengan orang yang seperti itu. Bahkan dia
meminta memfoto wajah saya untuk di laporkan sebagai bentuk pencemaran nama
baik. Saya mah ayo aja, orang saya ga salah, saya Cuma menegakan peraturan saja” ucap bapak Satpam menjelaskan.
“terus Bapak bagaimana” Tanyaku semakin tertarik.
“Ya saya siap di foto, dan dia mengambil gambar saya sambil
pergi”
“Dia, bayar denda juga?”
“Iya, walaupun harus berdebat dulu”
Di ruang tunggu aku mendapatkan giliran antrian yang
sedikit, jadi aku bisa segera mendapatkan tiket yang aku harapkan waktu itu
ticketnya adalah Gaya Baru Malam dengan harga Rp.55.000
Setelah selesai membeli tiket kereta api buat pulang ke
Purwokerto, saat nya aku pulang dari stasiun Jakarta kota ke Stasiun
Universitas Indonesia. Aku pun di ajak bapak satpam untuk membeli tiket
Commuter Line, sekali lagi di bantu oleh bapak satpam. Ketika aku antri,
terlihat baris antrian yang panjang sekali, sekitar 30 orang mengantri dan aku
di urutan ke 30 itu. Namun bapak satpam tiba-tiba memanggilku.
“Mana , KTP mu?” pinta bapak Satpam.
“Ini, pak” sambil meyerahkan.
Selanjutnya bapak satpam membawa data indentitasku dan
langsung berjalan kearah petugas penjual tiket Commuter Line. Kurang dari 5
menit bapak satpam kemabli dengan PIN kerta Commuter Line di tangan.
“Ini, tiketnya, jangan sampai jatuh lagi ya, saying Rp
50.00- nya buat jajan” ucap bapak satpam sambil bercanda.
“Ya Pak, terima kasih banyak”
Aku yang dari awal merasakan kebingungan lantaran sebuah
rentetan kejadian yang membuat aku sempat khawatir, dari mulai berita batalnya
kujungan ke rumbel (Rumah Belajar), tidak jadi di belikan tiket sama teman,
Kartu PIN Commuter Line yang jatuh di kereta dan tidak ketemu, ganti bayar
denda Rp.50.000 yang sempat mempertaruhkan kejujuran dan hingga sampai pada
sebuah keniscayaan bahwa kejujuran akan membawa kita pada deretan kebaikan
juga. Di bantu sama bapak Satpam yang sangat baik hati, walaupun awalnya sempat
mau marah sama aku, namun tau bahwa kemarahan bukan untuk kemarahan melainkan
untuk kemurah hatian sehingga akhirnya luluh juga hati pak satpam itu.
Di bantu dari membeli tiket yang tadinya sudah habis, namun
di bantu di negosiasikan sama bapak satpam kepada petugas penjual ticket
akhirnya di utamakan untuk aku, sehingga ada orang yang sebelumnya hendak beli
untuk beberapa hari kedepannya di bilang sudah habis karena mengutamakan aku.
Sampai di bantu beli tiket Commuter Line yang antriannya panjang sekali
sehingga lebih cepat kurang dari 5 menit.
Aku jadi berfikir flash back seandainya saat aku kehilangan
PIN Commuter Line di Jakarta Kota aku tidak jujur, alias kabur tanpa
pertanggung jawaban, terus ketahuan dan sirine berbunyi pertanda kejahatan
telah tercium, mungkin di saat yang sama orang udik seperti aku akan panic dan
berlari, terus di kejar, apes di hadang sama orang-orang yang melihat aku
berlari seperti buronan, belum lagi kalau lariku kalah cepatnya dengan para
satpam yang terlihat seperti sudah terlatih mengejar begundal, aku bakal di
tangkap, di hajar masa, di masukan ke hotel prodeo dan meringkuk seperti anjing
kurapan.
Aku bersykur saat itu aku jujur, sehingga bayangan gelap
menjijikan yang terbang di angan berfikirku tadi tiba-tiba musnah, aku aman,
aku selamat dan jadi berkenalan sama bapak satpam itu, namanya bapak
Burhanudin, beliau sudah memiliki dua anak semuanya belum sekolah.
Aku bergegas menunaikan sholat maghrib yang hampir habis
waktunya, dilanjutkan pulang dengan Commuter Line dari Jakarta Kota menuju
stasiun UI, menikmati perjalanan malam dengan deru kereta Commuter Line yang
menghanyutkan, di dalam Kereta. Sementara, Aku seperti menyaksikan wajah-wajah kecut penuh lelah yang bergelayut
berat di wajah para penumpang. Aku pun merasakan hal yang sama. Hari itu lelah,
tetapi membahagiakan, lelah ku terbayar dengan pertolongan-Nya lewat bapak
satpam itu.
Terima kasih ya Allah, terimakasih bapak satpam dan terima
kasih untuk Langitantyo Tri Gezar dan Renita Putri
Maharani 2 orang sahabat tak terlupakan kebaikanya.
Depok, Jawa Barat
Sabtu, 9 November 2013
Di tulis di KUTEK, kawasan kosan sahabatku Langitantyo Tri
Gezar ( Komunikasi UI 2010)
subhanallah.. memiliki pengalaman yang hampir sama juga ...
BalasHapusPertolongan Allah selalu nyata :)