Di catat pada :Selasa 27 Mei 2014
Pukul 23:33 WIB di Wisma Albanna, Purwokerto, Jawa Tengah
- Ingatanku tersuruk-suruk mengingat
kenangan yang pernah terlewatkan. Namun aku bahagia, aku tak perlu
menuntutnya karena aku telah mencatatnya dalam diariku. Diari yang aku
anggap seperti mesin pemintal yang merajut benang-benang kenangan menjadi
sebentuk kain lembut memoir penuh dengan motif
moment-moment indah yang berjejal menghiasi.
Kala itu,
Langit merekam. Selasa 27 Mei 2014 Pukul 23:33 aku dan beberapa teman
dari Forum Indonesia Muda (FIM) regional Purwokerto baru saja
pulang mengantarkan sahabat-sahabat -- dari Forum Indonesia Muda (FIM)
Regional Jogja, ke rumah salah satu kawan bernama Lani di Purwokerto untuk
menginap barang semalam. Sebenarnya agenda utama hari ini adalah
berkunjung ke Walimahan pernikahan Mba Dhian dan Mas Ridwan (Keduanya Alumni
Forum Indonesia Muda) di Cilacap. Setelah idari situ, acara dilanjutkan agenda
refreshing bersama. Meskipun malam ini lelah itu tampak bergelayut
diwajah mereka tapi aku yakin sebingkis kebahagiaan telah mereka terima sebagai
kado hadiah dihari ini. Kado kebahagian yang aku harapkan telah kami terima
semua satu persatu. Karena aku melihat mereka tadi tersenyum dengan bahagia
saat aku pamit pulang.
Tulisan ini di
tulis spesial teruntuk hati-hati yang terlibat langsung ketika moment ini
tercipta. Untuk sang pemilik hati di Forum Indonesia Muda (FIM). Untuk
Mas Afif, Mas Iqbal, Mas Azam, Mas Gunadi, Mas Hasan, Dik Bayu, Mba Iin, Dik
Rona, MbaZia, Dik Ina, Mba Dira, Dik Shendy dan Dik Lia. Tulisan ini juga
sekaligus untuk menjawab pertanyaan mba Iin yang kala itu menanyakan apakah
moment ini akan ditulis, di diary-ku? waktu itu aku diam dan hanya
tersenyum saja namun dalam hati aku jawab “ Iya ,tentu , aku tak akan
melewatkan moment indah ini untuk aku catat dalam diary ku ”.
Sileut senja
menelisik, membuyarkan sinar magenta yang tampak gagah mencemari langit
seisinya. Air laut serupa menyembur lantak mengelegak, sesekali kebas di
hempas,di belah oleh tubuh perahu besi kecil kami yang kokoh melaju membentuk
bekas garis memanjang berwarna putih. Jika di perhatikan , sekilas tampak
begitu mempesona,menyisakan jejak perahu yang meninggalkan kenangan dalam
catatan perjalananperahu kami, putih seperti busa, lembut seperti buih. Indah
nian.
Kawan,
perahu besi kecil bercadik yang kami tumpangi ini adalah hasil jerih payah
diskusi alot antara negosiator ulung kami dengan para punggawa penyewa jasa
perahu,berkat kepiawaian sang negosiator yang tak perlu ku sebut namanya
itu, akhirnya kami menerima kata sepakat dengan kocek nominal sekitar Rp
250.000 untuk mengupah mereka. Rute berkeliling ke pulau Nusa Kambangan pun
menjadi pilihan yang tak bisa kami tolak. Karena sangat menjanjikan lebih
tepatnya sangat menggiurkan. Kami sepakat. Dan mari berpetualang, Kami punsiap
melaju dengan jumlah kami yang kala itu ber jumlah 14 anak muda luar biasa.Tak
lebih tak kurang.
Debur ombak
yang meraup-raup tubir pantai seolah menyambut kami. Seolah satu nafas dengan
suka cita kami, Maka setelah memakai pelampung berwarna oranye, kami pun
berhambur ke perahu yang telah kami sewa. Serbuk pasir pasir hitam pantai
Cilacap pun masuk ke sela-sela jemari kaki seperti berebut ingin ikut, beberapa
diantara kami terpaksa harus menyingsingkan celana panjangnnya, dan mencincing
sandal jepitnya. Debur ombak menderu mesra, Senyum dari sungging bibir kami pun
mengembang, sementara nun jauh diatas sana. Langit sore yang tadi masih birupun
berangsur tampak mulai menguning. Senja akan segera menyambut.
Tak peduli
senja berangsur, ia terabaikan di tingkahi gelagak tawa canda kami. Canda yang
berasyik masyuk dengan laju perahu gagah melintas acuh. Walau kadang juga
terombang ambing oleh gaya tolak akselarasi sempurna sebuah mesin motor yang
terdengar meraung-raung, namun perahu kami tetap kuat menampung kami,
Menampung kami bersama dengan berat badan kami ber 14, serta menampung sekarung
kebahagiaan yang mulai bisa di takar beratnya karena saking bahagianya.
Adalah kami,
basah dengan tawa tak pernah padam, dengan senyum tak pernah kendur berulah.
Bagi kami sorak sorai kebahagiaan adalah hidangan sore itu. Di perahu
besi tua bercadik kecil itu. Tak peduli seberapa berat beban tubuh kami menekan
perahu, seperti dalil Archimedes itu, berat jenis Perahu yang
kami tumpangi akan membela kami untuk tetap mengapung. Ia lancar saja menyisir
kecepuk air laut asin. Bahkan perlahan tapi pasti denyut kebahagiaan itupun
mulai berdenting memberikanketenangan.
Namun ternyata
lajunya semakin cepat. Perahu itu pun melaju semakin cepat seolah beresonasi
dengan cemas yang meletup-letup mengalirkan darah sampai keubun-ubun. Hanya
dalam hitungan menit, perahu pun bertolak semakin menjauh dari tubir pantai
Cilacap menampung tubuh kami ber14 menuju rute yang kami pilih ; Pulau Nusa
kambangan.
Ruam-ruam air
laut yang asin itu seakan hempas di tabrak cepat nya laju perahu kami, beberapa
dari kami tak ingin kehilangan dengan pose terbaiknya untuk selfi,jeprat sana,
jepret sini. Yang apes akan terkena hemapasan air asin dari laut yang
menghambur kearah perahu kami. Semua terasa nyaman saja, tak ada rasa
khawatir yang muncul, apalagi cemas berlebihan. Semua dalam kadar terukur namun
pasti sangat membahagiakan. Aku berani bersumpah.
Gumulan
perasaan itu menjelma dalam gelegak tawa bahak. Membuncah menjadi rintisan
kebahagiaan. Jika tak berlebihan aku katakan, seolah kami berhasil menyatukan
kepingan-kepingan mozaik kebahagian yang tersebar di berbagai jagat alam
rayaini. Semakin kami menyusuri satu tempat maka kami seolah menemukan kepingan
mozaik yang baru dan seterusnya hingga kami merasakan kepingan mozaik
kebahagiaan itu terkumpul sempurna. Itulah kebahagiaan yang berhasil kami
rangkai. Menjadi satu bentuk utuh kebahagiaan yang kokoh, manunggal dan tiada
tara. #apakah terlalu berlebihan? Kurang lebihitulah yang kami rasakan kawan.
Sungguhaku tak
mau nuansa ini terlewatkan hanya sebentar saja. Mataku terpekur memahat
garis-garis horizon alam yang tampak mulai menelan mentari sore. Menaburkan
warnam agenta kuning kemerah-merahan. Indah, indah nian tak terperi. Jika mata
memandang hamparan air laut. Maka yang terlihat adalah air laut seperti daratan
yang datar dengan permukaan sedikit bergelombang. Namun sesekali juga aku
menyaksikan lantakan badai pesona serupa daratan itu pias keperak-perakan,
kamuflase air laut jelmaan sinar mentari sore dengan air laut yang asinnya
membuat aku kapok. Namun aku puas.
Sesekali air
asin itu membuncah, terhambur menerpa kami ketika dua pertemuan antagonis
antara ombak pecah yang menyisakan hempasan air bertemu dengan daya tolak
perahu semakin kencang melaju. Menghasilkan rintik-rintik hempasan air menerpa
kami. Membuat kami kuyup basah. Namun kebahagiaan membuat kami melupakan hal
tersebut.
- Sungguh kala itu kami bahagia teramat
sangat, andai saja ada sekawanan burung camar yang sedang terbang membumbung
tinggi disana, pasti mereka iri dengan kebahagiaankami. Mereka iri karena
mereka melihat kami yang gembira ria, tertawa bersama, bersuka cita
dalam harmoni kecepukombak yang pelan menghempas. Namun pelan-pelan
menghanyutkan kami dalam lautanmadu cinta kebersamaan. Perahu kami tetap
melaju dengan riang.
Jika aku
gambarkan , maka keberadaan kami disore tadi adalah seperti 14 kurcaci yang
sedang berada di atas perahu kecil di taruh di semangkok air asin. Jika saat
itu kami di zoom out dari saatelit luar angkasa, maka
kami akan tampak seperti satu titik,kemudian jika di zoom in, mendekat
lagi akan semakin jelas satu titik itu adalah satu perahu kecil yang melaju
menyisakan buih putih bergaris, semakin mendekat di Zoom in,
maka akan tampak diri kami ber 14 yang sedang larut dalam tawa bahak, senyum
riang karena pesona ke kaguman melihat panorama alam Nusa Kambangan dari perahu
kecil kami.
Awan gemawan
seolah robek di cakar desingan-desingan angin yang merambah di altar
langit. Awan itu tampak buyar berhamburan menjadi bergumpal-gumpal kecil
selayak kapas putih. Seolah telah mafhum bahwa sore itu bagi kami adalah sore
yang tak biasa, kami memberi makna tentang sore yang kami harapkan akan menjadi
sore yang luar biasa, berharap sore itu di isi dengan senyum kami yang
mengembang sempurna dengan gelagak tawa bahak yang melahirkan kedekatan
persaudaraan kami satu sama lain. Persaudaraan yang kami bangun di bawah
pondasi yang kuat di Forum Indonesia Muda. Dan hingga detik ini, jika berbicara
tentang hal tersebut, aku katakan ia menggenang kaya dalam ingatanku, menjadi
sebuah candu untuk aku rasakan kenikmatannya kala aku merasa sepi merasa begitu
melankoli.
- Kala moment indah kebersamaan itu
tercipta. Seumpama sketsa, ingatan itu pun selalu meggambarkan moment itu.
Semua masih teringat jelas
Ada Kurniawan
Gunadi yang sedang asyik dengan “beautiful momentnya”, menangkap
setiap gurat pemandangan sore yang tergambar langsung di langit. Menangkap
setiap detail seni yang di berikan oleh tuhan secara langsung. Detail seni itu
seolah tumpah langsung ke permukaan air laut yang memantulkan pemandangan asri
tak terperi. Aku tau, Ia tidak akan rela membiarkan moment itu berlalu dengan
sia-sia begitu saja. Meskipun biasanya dia terkenal sebagai penulis buku dan
penulis di tumblr ( http://kurniawangunadi.tumblr.com
), namun aku juga baru tahu kalau ternyata dia adalah seniman berbakat untuk
desain terutama dalam hal photo memfoto, maka aku mafhum baginya setiap detail
bergantinya gurat pemandangan sore adalah kebahagiaan yang memiliki nilai yang
dalam, bisa jadi, baginya mengabadikan gurat pemandangan sore itu adalah sebuah
keharusan.
Tak heran untuk melakukan hal itu, Ia rela berusaha dengan susah payah
mendapatkan beberapa jepretan “Master Piece” nya meski kamera
pocket Sony W320 nya harus kecelup air, maka untuk
meng-apresiasi jerih payahnya sendiri, tak segan pula ia menunjukan hasil
jepretannya kepada kami semua. Hasilnya pun benar, jepretan itu memiliki makna
seribu interpretasi. Image yang di ambil dengan perhitungan
matang,memperhatikan nilai estetika, serta pertimbangan-pertimbangn dalam hal
mukjizatilmu fotografi yang hanya dia dan tuhan yang tahu. Telah menghasilkan
mahakarya yang berarti. Yang tidak kalah penting adalah makna yang terkandung
didalamnya. “ Sebuah image yang akan berkata lebih banyak dari
pada kata-kata “ kurang lebih ituyang pernah ia katakan kepada ku.
Sementara
menelisik di sudut ingatanku yang lain kala itu, Ada Mba Dira, Dik
Rona, Mas Azam, Dik Bayu, Mas Iqbal, Mas Afif, Dik Shendy, yang sedang
asyik berselfi Ria, tentu dengan senyum dangaya khas yang mereka miliki. Tidak
cuma itu saja, biasanya bumbu-bumbu gaya yang membuat semakin sedap adalah
dengan pose tangan, serta pilihan gerakan jari yang menjadi gayanya. Ada pose
dengan mengacungkan 1 jari di tambah senyum sederhana tanpa tingkah, ada pose
dengan mengacungkan 2 jari di tambah dengan senyum sambil kepala di miringkan,
biasanya kalau tidak ke kanan pasti ke kiri, namun yang belum pernah ku temui
adalah pose dengan 10 jari meskipun dengan gaya senyum apapun. Mungkin
kelihatan aneh.
Di sebelahnya
lagi Ada Mba Iin, Dik Ina dan Mba Zia yang sedang menunggu
kamera untuk menunggu giliran foto selfie-nya. Meski menunggu namun ajaib,
mereka tetap bahagia. Biasanya sambil menunggu kamera untuk
selfi-nya. Mereka sempatkan untuk ikut sedekah senyum menyaksikan cloter pertamanya
berselfie ria. Sungguh tampak begitu pengertian.
Sementara di tempat duduk bagian belakang Ada Dik Lia yang
sedang asyik mengamati jernihnya air laut dengan tangan kanan kadang-kadang di
celupkan ke dalam permukaan airl aut. namun kadang sedikit merasa kaget sambil
senyum-senyum jika terkena air asin yang berhambur menerpa dirinya. Aku juga
ikut senyum, hitung-hitung aku ikut simpati berusaha sepenuh hati
merasakan kebahagian yang dik Lia rasakan.
Dan terakhir di
bagian paling belakang ada mas Hasan dan aku yang sedang asyik
berbincang-bincang dengan nahkoda perahu kecil kami, semuanya berjalan
denganpembagian yang sempurna. Dengan tingkah laku kami yang unik dan
lucu, dengan perangai yang tetap menunjukan kami masih waras dan bahagia
paripurna.
Diskusi hangat
pun kami perbincangkan, tentang hutan-hutan asri yang seolah menyelimuti
daratan pulau Nusa Kambangan, tentang Terowongan Jalur Bawah laut --- yang
menurut kata “ Nahkoda ” perahu kami, sudah bocor tersaruk kapal besar
sehingga tidak bisa di pakai lagi,tentang mitos-mitos yang ada di Nusa
Kambangan. Semua menjadi sangat mengasyikan di tengah-tengah kami. Seolah
menjadi hidangan penambah selera perbincangan kami. Kami lahap habis
perbincangan itu.
Kami sangat
menikmati laju perahu yang kami tumpangi, namun tiba-tiba belum genap jatah
kami mengitari pulau Nusa Kambangan sang “ Nahkoda “ pun putar haluan, katanya
hari sudah mulai gelap sehingga terpaksa tidak jadi meneruskan untuk mengitari
pulau tawanan para begundal itu. Akhirnya kami pulang menuju
daratan kota Cilacap lagi, mentari sore lengkap tertelan, di ganti dengan
temaram senja yang begitu syahdu. Di laut. Kami menyaksikan kerlip lampu-lampu
di kapal-kapal yang sedang berhenti di dermaga. Debur ombak masih luruh
terdengar, sementara gema adzan berkumandang di daratan Cilacap. Batinku
tenang, sungging senyum membuncah dari bibir teman-temanku. Sejenak kami
menyimak adzan, suara mesin perahu meraung-raung menyesaki telinga. Namun hati
tetap merasakan kedamaian yang tenang teramat sangat.
Aku merindukan
moment itu lagi
Andi Yanto
“Semangat menulis satu hari minimal satu judul
tulisan di tahun 2015”
0 komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca tulisan di atas, silakan berikan tanggapan/ komentar/ inspirasimu di bawah sini :