Ingatanku luluh lantah, pendar cahaya lampu pun tak sanggup menerangi bagian tergelap dari fikiranku. Yang jelas, kembali aku merasakan denyut nadi ini seperti memberontak bergejolak. Bukan lagi memompa darah. Namun memompa emosi-emosi yang mengguncang kepenatanku. Aku tak ragu dengan apa yang menjelma dalam fikiranku saat ini. Aku pun terus meracau. Kalap, aku pun merenung. Perenungan malam ini menghujam begitu hebat ke daratan memori masa-masa sekolahku dulu. Ke masa-masa ketika masih SMA dulu. Masa ketika putih dan abu-abu adalah seragam laskar pejuang mimpi yang tersesat di jamannya. Ingatan yang menghujam itu seperti meteor yang menghujani daratan dalam film sequel Armagedon. Daratan itu masih basah dengan kenangan-kenangan tak terlupakan. It`s such unforgetable moment ever.
Aku sungguh tak menyangka dan tak menduga bahwa langkah kaki yang terjejak ini telah bertahan meniti langkah pada sebuah institusi bernama sekolah. Aku pun tak menyangka sebelumnya bahwa aku bisa bersekolah SMA. Jika aku tarik paksa sang waktu, maka aku dapati ingatanku ketika semasa kecil dulu. Masa kecil yang tak banyak tau atau dengan bahasa yang diperhalus dengan sebutan "Kuper". Dulu aku sering terkagum-kagum ketika melihat bayangan anak-anak SMA di film LUPUS dan Cinta SMU dalam layar kaca. Mereka tampil cantik dan tampan. Tampil dengan paras maksimal lengakp dengan seragam baju bersihnya.
Namun setelah aku jalani sendiri ternyata nasib itu tak berpihak padaku. Kehidupan masa-masa SMA ku tidak sebahagia, seromantis dan semesra seperti yang ada di TV itu. Entahlah citra yang ditampakan di layar kaca TV itu seperti membohongiku mentah-mentah. Benar-benar benda kotak pembohong. Pasalnya aku tak bisa merasakan masa SMA yang seperti yang ada di film itu. Secara frontal aku katakan bahwa gambarannya adalah : Aku dekil, badan pun bau matahari karena sudah menjadi hal lumrah selalu tersengat sinar matahari sejak jam 7 pagi ketika berangkat hingga pulang jam 2 siang yang mana pada waktu keduanya wajahku menghadap ke arah terik matahari itu berasal. Karena ketika berangkat jam tujuh aku berangkat ke arah timur yang mana matahari sedang terbit. Sedangkan pulangnya menghadap ke arah barat. Lunas sudah, kulit sawo matang itu pun tersamarkan hampir seperti hitam lebih tragis lagi legam. Tak hanya itu, kawan. Wajah pun mengkilap berminyak bertapis bercampur keringat. Bahkan tak elok untuk dipandang. Semua karena ikhtiar yang harus ditempuh dengan sepeda reot yang harus melaju sekencang Antelop Tibet melintasi jalan tanah, bercampur batu kecil nan terjal dan becek dari desa ke desa menuju SMA ku. Semua itu berbeda dengan gambaran yang aku lihat di layar kaca TV tentang anak SMA. Itulah pembelaanku atas sebutan kenapa layar kaca TV itu pembohong. Karena apa yang ditampilkan bukanlah kenyataan. karena yang tampak bukanlah apa yang benar nampak di dunia nyata. But Let`s take it easy.
Lagi tentang film di laya kaca TV itu. Aku mengumpat dalam bisuku. Aku tertipu oleh tontonan yang tak bisa menuntunku menjangkau bayangan di layar kaca TV itu. Bayangan di Tv itu lebih seperti menampilkan ironi dengan kenyataan yang aku rasakan.
Mungkin jika tak berlebihan aku berkata. Aku sebut masa-masa SMA itu penuh masa rumit dan butuh perjuangan. Sepeda yang kupinjam sejak kelas 1 SMA sampai kelas 3 SMA masih saja belum sanggup aku beli --yang untungnya sepeda itu adalah milik paman sendiri sehingga bisa dipinjam kapan saja dan dalam waktu yang lama. Sepeda itu bahkan telah menjadi saksi dalam perjalanan spiritual mencari ilmu sehari-hari waktu itu. Meskipun tentang sepeda itu, lebih sering merasa tidak enak sendiri jika harus memakainya apalagi meminjam dalam jangka waktu lama. Sehingga bersabar untuk menikmati setiap kayuhannya adalah moment terindah yang tak akan pernah aku lupakan. Sepeda itu akan menjadi saksi bisu sama seperti baju seragam putih abu-abu ku itu.
Tak selamanya dikelas itu indah. Ungakapan itu menjadi wajar buat siapapun yang percaya bahwa hidup itu butuh hiburan. Maka jika aku ingin angin segar mencoba melompat dari kejenuhan dunia sekolah. Aku langsung ingin pergi ke Alun-alun kota Brebes. Disinilah saatnya untuk "refreshing" fikiran dari kejenuhan. Namun justru untuk hal seperti ini, aku harus rajin cari kaca untuk melihat wajah sendiri. Boro-boro bisa jalan-jalan pakai motor. Bisa pakai sepeda dengan rantai yang tak putus-putus saja sudah harus bersyukur bahagia. Soal ini aku lebih sensitif, lebih tepatnya aku berusaha lebih banyak tau dirinya ketimbang kelihatan blagu, aku ga modis dan ga fashionable sehingga teman-teman tidak berminat mengajaku untuk jalan-jalan karena bajuku cuma itu-itu aja. Katanya " Baju kamu kurang gaul, ndi". Dan itu bisa saja berarti aku akan malu-maluin. But it doesn`t matter for me. Karena akan selalu ada sahabat sejati yang akan selalu ada saat kita kurang dan disinilah aku pun bisa merasakan yang namanya "refreshing" bersama sahabat dekat yang peduli.
Andai bisa memilih, pasti aku pengin punya baju sebagus teman-teman lainya. Namun apalah guna memaksa. Aku masih bersyukur bisa sekolah SMA. Bersyukur atas apa yang ada pada diri lebih membuat kita mampu dalam banyak hal dari pada menggerutu atas apa yang tak kita miliki.
Kehidupan adalah perjalanan panjang meniti langkah. Dalam langkah itu akan kita temukan sebuah makna yang bisa kita ambil sebagai bahan pelajaran untuk hidup. Bahan pelajaran itu akan menjadi bahan rujukan atas sikap kita dalam kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, setiap perjalanan hidup kita pasti akan bertemu dengan banyak orang. Karena dalam setiap pertemuan kita dengan siapapun akan selalu ada maksud. Entah kita tau atau kita tak tau akan maksud itu. Namun yang jelas maksud itu tau kapan ia akan muncul supaya bisa diketahui oleh siapa saja yang telah menjalani hidup ini, kapanpun itu.
Apakah hanya seperti itu saja sekelumit perjalan memoar itu? Kemudian Aku kaget, sebuah pertanyaan membentur dengan begitu keras tepat mengena diriku. Bagaimana dengan warna warni perasaan CINTA ?? pertanyaan itu mengoyak ketenengannku. Cinta ?? "Persetan berurusan dengan cinta di masa-masa sesulit itu". Bukannya aku tak normal, sejujurnya perasaan cinta itu ada di dalam hati. Tapi entahlah telah aku taruh dalam deret urutan paling terakhir dari prioritas hidup. Saat itu, aku tak mau ambil bagian dalam peran menumbuhkan benih, karena aku khawatir jika benih itu tersebar, jika benih itu tertanam. Siapa yang akan merawatnya? Siapa yang akan mengamati dalam setiap senti tumbuh kembangnya? Aku sungguh belum minat untuk menanamnya saat itu. Biarlah ia bersemayam dalam penjagaan terbaik di lubuk hati terdalam. dilubuk hati yang salamanya kupertahankan suci itu. Sungguh, untuk persoalan tentang benih cinta aku memilih untuk tak terlibat. Aku tau akan ada saat yang tepat untuk hal ini. Masa itu aku butuh berjuang berada dalam garis pertahananku membela mimpi.
Karena sudah jelas alasannya yaitu untuk berjuang supaya sekolah tetap lancar. Entahlah, terkadang aku suka tergelitik dengan pertanyaan tentang cinta. Apakah benar masa-masa indah SMA itu selalu bertaburan warna indah merah jambu?. Apakah masa-masa indah itu selalu berarti adanya pertalian dua hati manusia jenis adam dan hawa?. Apakah benar masa-masa SMA itu saat yang tepat untuk menambatkan hati pada lawan jenis?. Apakah benar masa-masa SMA itu masa yang wajar untuk menikmati keidahan romansa dengan sosok tercinta? Tanyaku membabi buta.
Kawan, dalam urusan ini nasibku berbeda. Bukan warna "merah jambu" lambang cinta yang aku taburkan melainkan lebih kepada warna putih abu-abu seragamku. Sekali lagi masa itu benar-benar indah karena aku akrabi setiap jengkal hidupku dengan seragam putih abu-abu yang aku perjuangkan biar bisa tuntas menggenapi setiap potongan kenangan dari awal masuk SMA hingga sampai lulus di kelas 3 SMA. Meskipun itu bukan berarti bahwa frasa "merah jambu" yang kerap akrab di sebut cinta --itu raib dari diriku. Benih itu tetap ada di dada sebagaimana adanya. Namun aku memilih untuk tidak menanamnya. It was extremely dramatic.
Kawan, Segalanya terekam dalam ingatan begitu kuat. Mencenkram sampai berakar.
Tidak cuma hal diatas. Seolah satu nafas, Kenangan bertabur bintang juga tak bisa aku lupakan dengan recehan uang jajan setiap hari sejumlah seribu rupiah yang lebih sering aku simpan untuk aku tabung untuk membeli buku-buuku LKS dan sebagainya. Karena harga air es teh dan gorengan di kantin belum bisa di beli dengan nominal sejumlah itu. Namun aku tak meminta uang saku lebih, bagiku aku sangat bersyukur karena meski seribu rupiah tapi itu adalah uang halal yang insya Allah berkah. Uang itu adalah uang saku dari hasil keringat yang benar-benar dikeluarkan dari berlelah-lelah membanting tulang di sawah. Sehingga cukup aku terima saja, sambil mengucapkan terima kasih kepada Almarhum nenek dan kakek yang telah mengasuhku. Setelah itu, aku cium tangan mereka berdua sembari pamit berangkat ke sekolah. Aku yakin doa mereka akan mengantarkan jejak kaki ini pada masa depan yang cerah. Terima kasih untuk semua jerih payah yang hingga detik ini belum sempat aku balas karena kalian telah pergi selamanya meninggalkan aku.
It is absolutely true. Aku tak akan menyerah memperjuangkan mimpi-mimpi besarku. Meskipun sudah bukan hanya satu atau dua kali aku disuruh berhenti sekolah setiap berurusan dengan biaya sekolah, iuran dan sebagainya. Namun alhamdulilah sanggup bertahan. Meskipun masa-masa itu akan selalu terngiang dalam rekat ingatan yang begitu kuat. Aku akan selalu merasakan manisnya perjuangan itu.
Ya Allah. Terima kasih telah menguatkan langkah hingga sampai lulus SMA dengan nilai yang memuaskan.
Kalau ingat masa-masa SMA ini. Aku ingin terus berjuang tanpa henti. Aku tak ingin menyerah sekalipun harus kalah berkali-kali. dan itu pun akan terus berlanjut hingga detik ini sampai nanti. Hingga semua mimpi berubah menjadi kenyataan. Hingga semua angan dan harapan mengkristal menjadi perwujudan nyata yang bisa dirasakan manfaatnya bukan saja cuma untuk aku, namun untuk banyak orang.
Sang Pembelajar
Andi Yanto
Silaturahmi lewat twitter just follow @andiyantosmile
0 komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca tulisan di atas, silakan berikan tanggapan/ komentar/ inspirasimu di bawah sini :