“ Seumpama tetes air yang mampu membuat lubang di batu.”
Di catat pada
: Rabu 8 Oktober 2014 Pukul 23:18 WIB di Wisma Albanna,
Purwokerto, Jawa Tengah</a>
- Siapa yang percaya pada proses, maka
menyerah adalah suatu tindakan yang tak pantas, sebagaiman terungkap dalam
sebuah analogi, “ Seumpama tetes air yang mampu membuat lubang di
batu.” Ya hanya tetes-tetes air yang menerpa di atas batu. Namun
nilai ke konsisten-an akan tetes air itulah yang mampu memberi dampak luar
biasa. Bahwa tetes air yang merupakan zat cair saja mampu melubangi batu
yang sudah tentu keras. Begitulah perumpamaan sebuah makna usaha konsisten
dalam berproses di mana maknanya akan selalu bertalian dengan dampak
besar.
Mana kala kita
mampu melakukan suatu hal dengan istiqomah atau konsisten maka tak peduli hal
itu sulit, selama ada possibility untuk bisa terjadi
maka pastilah akan mampu di taklukan meski sesusah dan sesulit apapun. Tak
jarang kalimat-kalimat motivasi sering menyematkan kata-kata bernaskan
kemungkinan seperti misal “Itu susah tapi mudah”, ada harapan positif yang masih
di sematkan atas apa yang kita hadapi. Tentunya jika mau berproses.
Ini sejalan
dengan makna “tangguh’ atau pantang menyerah, di mana ada
keinginan untuk tidak menyerah di kala kebosanan menyerang, dikala kejenuhan
mencemari dari berbagai sisi untuk berhenti berusaha. Maka sejatinya nilai
istiqomah atau konsisten menjadi kekuatan besar untuk mewujudkan
kemungkinan-kemungkinan yang ingin di raih.
Seperti
pengalamanku tadi yang berkaitan dengan usaha konsisten. Atau terus menerus
yang berdampak pada suatu pencapaian yang sangat berarti.
Sebut saja
namanya Ilham (Bukan nama sebenarnya), Dia adalah mahasiswa Sastra Indonesia,
adik angkatanku yang dulu sangat pendiam dan tertutup. Sungguh aku tak
menyangka banyak hal besar terjadi pada dirinya. Ilham yang sekarang adalah
Ilham yang sudah berubah, Ilham yang sekarang bukan lagi Ilham yang dulu. Ilham
yang sekarang adalah Ilham yang lain dari yang lain, Ilham yang sekarang sudah
jadi Hafidz alias penghafal Al qur`an.. Sudah hafal beberapa Juz dan suaranya juga
sangat merdu ketika mengalunkan ayat-ayat-Nya.
Padahal masih
belum kering ingatanku ketika dulu aku menjadi anggota panitia Ospek. Aku
sempat berbincang-bincang dengannya ketika usai sholat dhuhur berjamah di
Mushola kampus Ilmu Budaya.
Tepat ketika
kami sedang memakai sepatu bersebalahan dengan dirinya. Dia tiba-tiba menyapaku
dengan panggilan pelan. Aku menengok ke arahnya. Dari matanya terlihat seperti
ingin menyampaikan sesuatu. Ya , ia begitu ingin menyampaikan sesuatu yang
tertahan.
Sesuatu itu
begitu asing, namun dari wajahnya aku melihat ia seperti meminta aku
mendengarkan kata-katanya. Aku pun mencoba mengerti, sehingga aku mendekatkan
posisi duduk ketika sedang memakai sepatu. Kebetulan sepatuku pantovel,
sehingga lebih cepat aku memakai jika di banding dengan Ilham, sedangkan Ilham,
ia memakai sepatu tali sehingga lumayan lama. Karena aku sudah selesai maka aku
segera memakai tas punggungku. Kemudian aku bilang padanya
“Dik Ilham,
ada yang bisa aku bantu?” begitu tanyaku.
“Mas Andi. Ya mas, aku ingin minta masukan Motivasi dari mas andi.” Ucapnya
tampak serius.
“Aduh motivasi, emang kakak motivator?” begitu celetuku.
“Ya mas, aku ingin mendengarkan masukan motivasi kalau mas berkenan” kilahnya
dengan tersenyum kecil bercampur malu.
“Ada apa dik Ilham, lagi ga enak badan ya, ayo semangat.” tanyaku basa-basi
sambil senyum dan menaruh tanganku di pundaknya.
“Nggak mas,
aku mau minta nasehat dari mas Andi, aku kan berasal dari keluarga yang di
sebut kurang mampu. Dan sekarang bisa berkuliah, kadang aku minder dengan
mahasiswa yang lain.”
“Kenapa harus minder?” tanyaku serius.
“Aku belum tau apa-apa disini. Ga tau juga nanti mau
jadi apa. Kadang gaptek juga” jawabnya lirih dan merasa serba salah.
“Ya wajar lah dik, kalau belum tau apa-apa karena masih mahasiswa baru.
Nanti juga
akan tau banyak”.
“Terus mas Andi punya saran apa, ga?” sambil menuntaskan ikatan
tali sepatunya.
“Dik Ilham, teruslah belajar banyak hal, belajar hal-hal baru yang tidak kita
tau. Kalau konsisten insya Allah kamu bisa menjadi terampil atau ahli.”
Kawan, Obrolan
itu adalah obrolan privasi yang berlangsung beberapa menit, setelah moment itu.
Beberapa tahun kemudian kami tidak mengobrol untuk hal-hal privasi lagi, paling
kalau ketemu di jalan, kami cuma saling sapa dan bertanya kabar, pernah juga
waktu itu usai sholat Jum`at di Masjid Fatimatuz Zahra Purwokerto, aku bertemu
denganya, kami juga tidak sempat ngobrol hal-hal privasi lagi, karena
sepertinya dia selalu terlihat sibuk mengurus sesuatu di masjid fatimatuzahra.
Namun pernah
kami menyempatkan obrolan kecil seputar kuliah nya. Kuliahnya lancar alias
tidak ada masalah berarti. Dia juga sempat berkomentar takjub dengan beberapa
postingan status dan photo-photo di facebook yang aku upload. Setiap kali dia
memujiku selalu aku balas “Insya Allah masih belajar memantaskan
diri.” Selalu begitu aku balas.
Saat itu aku
tau kalau dia ternyata telah menetap tinggal di Masjid Fatimatuz Zahra sebagai
santri di Masjid yang juga merupakan pesantren untuk mahasiswa. Sehingga aku
tak heran jika di beberapa waktu, Ilham di beri tugas sebagai muadzin di masjid
Besar Fatimatuz Zahra itu. Suaranya merdu. Tidak lain dan tidak bukan pasti
hasil dari ilmu yang ia dapatkan di Pesantrennya.
Namun oh tuhan
betapa semuanya begitu luar biasa terjadi. Seolah waktu bergerak membuktikan
kekuatan dari sebuah nilai konsisten atau istiqomah. Maka kemajuan demi
kemajuan benar-benar berpihak padanya. Berkat usaha dan kesungguhannya di
pesantren, kemajuan kian hari, kian waktu, mulai bermunculan kepermukaan
terutama dalam hal kefasihanya dalam baca Al Qur’an.
Semakin hari
aku saksikan semakin baik dan semakin baik, begitu seterusnya. Di beberapa
waktu yang dulu Ilham memang lebih sering mengumandangkan adzan, hingga
puncaknya Ramadhan kemarin hampir setiap waktu sholat dia yang menjadi muadzin,
kadang aku sesekali melihatnya menjadi imam untuk makmum yang masbuk untuk
membuat barisan sendiri ketika barisan sholat yang sift pertama sudah salam. Ia
biasa saja menjadi imam, bacaannya masih biasa waktu itu.
Namun kini
seakan benar-benar berbeda. Bahwa usaha untuk menjadi apapun kalau benar-benar
di tekuni maka kita akan menjadi apa yang kita inginkan selama masih ada
kemungkinan. Dan itu terjadi pada Ilham saat ini, Ilham sekarang di percaya
menjadi imam di Masjid Besar Fatimatuzahra, mengimami ustadz-ustadznya yang
merupakan hafidz. Jika Ilham menjadi imam dan membaca surat didalam
sholat maka hati-hati makmun bergetar. Suaranya merdu teramat sangat.
Aku kadang
merinding, kadang terasa begitu melebur dengan perasaan. Ada syahdu yang
menelisik ke pedalaman jiwaku. Semua bersatu membentuk perasaan tenang yang
benar-benar membuat tenteram teramat sangat.
Seperti tadi
ketika aku sholat isya berjamaah dan Ilham yang menjadi imam utama. Dan makmum
di barisan pertama tepat di belakangnya adalah ustadz-usatdznya yang
mengajarinya membaca Al Qur`an. Aku berada di saf pertama. Terpaut 3 makmum
jaraknya dari urutan depan di dekat Ilham. Sholat pun di mulai dengan terlebih
dahulu Ilham memmengatkan “Merapatkan dan meluruskan sholat adalah salah satu
ke utamaan sempurnanya sholat berjamaah”.
Benar-benar
sholat yang penuh penjiwaan, mana kala imam mampu membacakan ayat-ayat
cinta-Nya dengan lantunan tartili dan merdu maka sholat pun menjadi
terasa lebih khusyu, merasa tersentuh dari setiap kelembutan dan kemerduan ayat
yang di lantunkan. Apalagi momentum dalam sholat adalah keadaan di mana hati
dan fikiran terjaga.
Betapa
keindahan lantunana ayat-ayat suci benar-benar mengisi sanubari. Menguatkan
kembali jiwa yang lemah, menyegarkan kembali jiwa yang lelah, menyemangati lagi
jiwa yang sedang lesu. Semua seperti obat, disinilah barangkali sebutan Asyifa
benar adanya untuk nama lain Alqur`an.
Ilham
melantunkan ayat-ayat suci-Nya dengan penghayatan, sehingga bagai gayung
bersambut. Makmum pun ikut larut dalam kemerduan dan kesyahduan ayat-ayat
AlQur`an yang terlantun oleh bibir ikhlasnya. Surat Al fatihah di rakaat pertama
mampu menggetarkan jiwa yang di lumuri kerak-kerak kebencian hingga terasa
luruh, berlanjut ke surat Al Baqoroh sebagai bacaan surat setelah al Fatihah di
rakaat pertama, merasa air mata mengumpul di kelopak saat di bacakan ayat
pertama “Alif lam mim” yang di katakan bahwa Alif lam mim itu bukanlah satu
huruf melainkan alif satu huruf, lam satu huruf dan mim juga satu huruf. Betapa
ayat pertama saja sudah mampu menggetarkan jiwa ini.
Dan ternyata
lagi-lagi bukan hanya aku yang merasakan damainya moment itu, melainkan sosok
tua di sebelah ku malah sudah sesenggukkan. Ketika ruku, tak sengaja aku
melihat secercah tetes air bening jatuh menetes kebawah. Mungkin itu air mata.
Setelah
Itidal, sujud, duduk di antara dua sujud di lanjutkan takbiratul ikhram,
melantunlah kembali ayat-ayat penuh karunia-itu. Surat Alfatihah kembali
terlantun, kini jiwa siapa yang tidak berubah menjadi tenang di kala di
dera kesyahduan teramat sangat dari merdunya bacaan sang imam. Batin siapa tak
akan buncah ketika di dera merdu suara lantunan ayat-ayat kauliyah-Nya.
Hati ini di
lumuri haru biru rindu. Perasaan ini buncah entah kemana rimbanya. Tenang
tenteram, hanyut. Suara sang imam begitu merembas ke dalam sukma. Khusyu dan
batinku terasa di remas-remas oleh rasa nyaman yang teramat sangat.
Surat pendek
yang di baca setelah bacaan Al fatihah di rokaat ke dua adalah surat annaba.
Sebuah surat yang menerangkan pengingkaran orang-orang musyrik terhadap hari
berbangkit, ancaman Allah terhadap sikap mereka, azab yang mereka terima di
hari kiamat serta kebahagiaan orang-orang yang beriman., begitulah kira-kira
isi makna surat tersebut. Apalagi di baca oleh sang imam yang begitu faham
tentang ilmu membaca Alqur`an yang baik dan benar. Maka benar seperti yang aku
sangka, kemerduan ayat-ayat yang terlantun pasti mampu menggetarkan hati setiap
makmum.
Demikian
pengalaman yang tadi aku alami, dalam benaku aku masih ingat Ilham dulunya
siapa, dan sekarang menjadi siapa. Aku juga pernah sempat mendengar Ilham
membacakan surat An-nabba ketika di undang sebagai pembaca tilawah Qur`an di
sebuah acara yang waktu itu aku sebagai pembicaranya. Aku juga sempat menyimaknya
dengan seksama.
Di moment
tepat ketika aku sedang mengisi acara, sempat aku sampaikan pujian untuknya
secara langsung di depan para audiens, ya pujian itu tulus dari hati karena aku
begitu menyukai bacaannya. Sengaja aku sampaikan supaya orang lain termotivasi
juga untuk sama seperti dirinya , termasuk diri saya pribadi juga yang ingin
seperti Ilham. Dan seusai mengisi acara, aku mendekati Ilham dan bertanya
tentang hafalan dan bacaannya, namun yang mencengangkan dia bilang “Butuh
bertahun-tahun, mas untuk bisa seperti tadi, harus sabar dan istiqomah untuk
selalu semangat menghafal dan memperbaiki bacaan sesuai tajwid”.
Dan inilah
sekali lagi yang menjadi pelajaran, pujian begitu mudah tersemat kepadanya dari
mulut-mulut yang mendengarkannya. Semua terasa terjadi instan. Kita mengira
semuanya baru kemarin, namun ternyata di butuhkan waktu yang tidak sebentar
untuk menjadi “bisa” dalam suatu hal.
Sama hal nya
dengan ketika kita memuji teman atau kawan kita yang sukses akan suatu hal,
kita mungkin mengira itu terjadi karena persiapan kemarin padahal itu terjadi
karena latihan-latihan berulang kali yang tak kenal lelah, tak kenal kata
menyerah, fikiran positif, perasaan beriman akan hasil akhir yang baik meski
butuh waktu lama, merupakan modal utama.
Sama halnya
analogi, tetesan air yang mampu melubangi batu sekalipun, tentu bukan satu ,
dua atau tiga hari, namun di butuhkan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun atau puluhan tahun.
Aku kagum,
kagumku pun beralasan, alasan yang sangat mendasar. Kegigihan, itulah alasanku,
aku kagum karena Ilham gigih dalam berusaha, konsisten dan mau berusaha. Dan
menurutku hal tersebut berlaku untuk semua , untuk siapapun yang ingin meraih
mimpi, maka gigih dan konsisten menjadi nominal yang pantas untuk membayar
suatu pencapaian.
Sekarang, jika
flask back ke moment ketika berbicang-bincang di Mushola ilmu budaya semasa
ospek dulu. Maka seandainya waktu itu bisa diulang ke detik ketika ia
mengatakan.
“Aku belum tau
apa-apa disini. Ga tau juga nanti mau jadi apa. Kadang
gaptek juga” aku ingin mengatakan pada nya. “ suatu saatu kamu akan jadi hafidz
yang baik hati dan gigih.” Semangat !!!.
Andi Yanto
“Semangat menulis satu hari minimal satu judul
tulisan di tahun 2015”
0 komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca tulisan di atas, silakan berikan tanggapan/ komentar/ inspirasimu di bawah sini :