Ini tercatat sebagai bentuk kenangan
bahwa aku tidak ingin moment-moment indah bersama orang-orang hebat yang aku
merasa dekat dengan nya berlalu begitu saja, ini tercatat karena aku ingin
orang-orang dekat ku juga bisa selalu dengan mudah mengingat kebersamaan yang
pernah ada. Dan ini tercatat semata-mata karena aku menghormati kalian sahabat,
orang –orang yang aku kenal dengan baik supaya suatu saat di masa depan nanti
aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa aku pernah bersama kalian di moment
bahagia ini. Salam rindu ku sahabat dan orang orang dekat ku. ~ Sang Pembelajar
~
Di catat pada
: Sabtu 26- April 2014 pukul 18 : 04 WIB di Bus Agenda PGC (parahyangan
Green Challenge) 2014 Bandung Jawa Barat
Barusan kami
berada di sebuah tempat yang tak asing. Tempat yang menyimpan cita rasa seni
yang tinggi dan kental menjunjung nilai kebudayaan tanah sunda bernama Balai
Pare di Bandung. Di sana terdapat sebuah panggung bergaya modern, dengan
halaman cukup luas di depanya yang berbentuk pesegi panjang dengan formasi
huruf “U” untuk tempat penontonnya. Tidak hanya itu, tempat tersebut juga
dilengkapi dengan beberapa kursi di sebelah kanan dan sebelah kirinya. Di
panggungnya telah terpasang alat music band lengkap, beberapa gitar dan sisanya
adalah instrument alat music traditional tanah sunda yang terbuat dari bambu
yang mampu menghasilkan bunyi-bunyian merdu jika dipukul : Angklung.
Di panggung
itu telah berdiri seseorang yang akan begitu piawai membawakan sebuah gubahan
berkelasnya, Mang Udjo nama panggilanya, beliau tampak elegan memakai pakaian
khas adat sunda dengan penutup kepala bermotif batik. Di Belakangnya telah
berdiri 7 putri pendamping utama dengan memakai kebaya warna hijau dengan paras
cantik, kulit kuning langsat, Aku menduga, mereka lebih seperti dayang-dayang
yang juga sama memiliki keahlian memainkan alat music angklung. Dan ternyata
benar. Mereka bukan hanya seperti dayang-dayang saja, melainkan juga seperti
pramugari dalam sebuah maskapai penerbangan, karena kebaikannya memandu kami
memainkan alat music angklung tak akan aku lupakan hingga detik ini. Sementara
di bagian belakang 7 putri tersebut, tepatnya di bagian tempat di taruhnya alat
music band dan gitaris, telah siap sedia 3 laki-laki yang seolah tampak siap
bertempur di medan perang.
Di Bus ini,
saat aku menulis diary ini, aku masih hanyut dengan euphoria tadi. Di samping
karena tadi telah gugup di minta untuk rekam video untuk testimony acara
Parahyangan Green Challenge oleh panitia bersama 2 peserta lainnya yaitu Putri Ardila Mounda dari Universitas Indonesia
dan Arumadina Islamiq dari Telkom University. (Hehe, Aku terkahir kebagian shootingnya
pas batre kamera low bat alias mau habis, sepertinya tidak sempat kerekam
haha.. it doesn`t really matter at all).
Kawan,
Sekilas imaginasiku membayang kembali, Imajinasi ini seperti kamera besar dari
pesawat ulang-alik milik NASA Amerika yang mengambil serangkai gambar / citra
memory beberapa jam yang lalu. Aku menyebutnya kamera imajinasi. Pertama,
Gambar ingatan di ambil dari luar angkasa yang kemudian di arahkan menuju ke
planet bumi, setelah itu di zoom in lagi menuju ke
jajaran peta Indonesia yang hijau bak zamrud katulistiwa, kemudian di zoon in
lagi, ke pulau jawa, terus dan terus menuju datu titik, yaitu di daerah
Bandun. masih kurang jelas, di zoom in lagi ke balai
Pare Bandung , kamera menelisik meneroboos awan gemawan kelabu yang tebal,
hingga akhirnya berhasil menembusnya dan tampak kamera menangkap bayangan
kerumun ramai-ramai orang yang terlihat seperti kurcaci jika dilihat dari
langit. Kurcaci kecil tersebut tampak sedang mengenakan kaos kombinasi
warna putih dan hijau yang berjumlah seratusan, itulah kami. Target
Locked, Segera kamera di zoom
in lagi ke pertunjukan sore
penuh euphoria seni berkelas, Saung Udjo, Bale Pare, Bandung, Indonesia 26-
April 2014 pukul 17 :33 WIB
Flash
back, Di
sore itu, langit tampak kusam. Sore yang menurutku begitu lain, sore yang
memiliki kekuatan sacral nan exotis, Sore yang lembab, Sore yang di langitnya
di sesaki awan, sore yang tak berjingga, tak ada mega, tak ada siluet senja
yang ada hanya awan kelabu yang lesu karena mendung berat bergelayut membebani
langit. Wah aku jadi teramat melankolis menggambarkannnya.
Lanjut, Sore
yang memandu telinga kami dengan manja di karenakan sebuah sajian hangat
dari suara harmoni ratusan angklung bambu yang berpadu satu menjalin irama yang
merdu menilisik ketelinga dan terdengar begitu anggun sekali. Denting melodi
angklung merambat dengan resonasi berdaya penuh kekuatan, frekuensinya
menciptakan getar-getar gelombang yang berangsur melenakan namun jujur juga
“Memanjakan”. seperti anak panah yang melesat dari busur dan membidik
titik kesadaran kami akan keindahan. Membuat kami terpukau, terpesona dan jatuh
hati pada gubahan alat music ini.
Meski
demikian definisi untuk sore ini tetap masih dalam pembahasan kesan yang begitu
lekat membekas di benak. Masih terngiang-ngiang suara racikan seni dari
angklung yang seolah bertuah. Suara yang memberikan kenikmatan tersendiri.
Suara anggun nan mempesona itu berhasil melumat kami ke dalam syahdu tiada
tara. Sore yang begitu anggun seanggun hiasan suara yang mengisinya.
Mengetahui
langit seolah akan turun hujan, sedikit memupus harapan kami yang telah di
janjikan oleh panitia sesuai jadwal kami akan bisa berkesempatan menyaksikan
persembahan terbaik dari Saung Udjo,( group Music Orchestra dengan instrument
utama Angklung sebagai pelengkap sore kami yang melelahkan setelah seharian
melaksankan agenda acara kami ; Parahyangan Green Challenge (PGC) 2014 UNPAR
Bandung. ) khawatir kalau sampai kelewatan tidak bisa menyaksikannya.
Namun alhamdulilah hingga aku selesai menulis ini, ternyata kami berhasil
menyaksikan acara penampilan dari Saung Udjo dengan begitu memukau, terpesona
membuat kami terlena di buatnya. Terima kasih untuk panitia PGC (Parahyangan
Green Challenge) 2014 ya, terspecial buat Steffy Listiani, Project Officer
acara serta Carlos dan Gloria ; duo kakak beradik yang berkontribusi besar
untuk acara ini. ( kami sebelumnya pernah bersama di satu forum ILC-NLC 2013
Universitas Indonesia )
Aku pendarkan
mata, pandanganku menyapu sebagian besar peserta PGC (Parahyangan Green
Challenge), pandanganku menangkap puluhan bahkn seratusan sungging senyum
kebahagiaan dari wajah-wajah penuh suka cita. Wajah penuh kebahagiaan dari
Mereka yang merupakan mahasiswa terpilih dari 44 Universitas se Indonesia.
Langit sore
ini, berhasil merekam gurat wajah-wajah itu. Sebagian besar mereka asyik dengan
angklung yang erat di genggaman tangan, menggerak-gerakannya sesuai dengan
komando dari seorang “Dalang” musik atau lebih tepat
seorang “dirigen” untuk orchestra bertuah dari tanah sunda. Dari racikan alat
music penuh nilai budaya tinggi berupa angklung ini, telah berhasil membuat
hati kami “kepincut” dan mabuk kepayang mendengarkan
gubahan melodi yang di hasilkan dari alat musik tersebut.
Pak Udjo,
bertindak seperti maestro yang begitu baik. Karena begitu baiknya, pak Udjo
mempersilakan seluruh peserta untuk ikut terlibat dalam sajian shimphoni yang
akan ia persembahkan.
Masing
–masing dari kami ; yaitu para peserta di pinjami oleh beliau satu angklung
dengan karakter tangga nada tertentu. Dengan penamaan angklung dengan nama
propinsi-propinsi di Indonesia lengkap dengan symbol permainan tangga nada berupa
gambar tangan. Sangat unik sekali, bukan lagi not balok atau symbol not yang
seperti bentuk kecambah itu. Namun berbentuk konstruksi gerak tangan. Misalnya
saja, kami dapati ada simbol tangan menggenggam, tangan membuka, juga ada yang
lebih spesifik lagi yaitu gambar tangan membukanya ada yang membuka ke atas,
ada yang membuka ke bawah. Semua di atur sedemikian rupa sehingga menjadi
sebuah hirarki tangga nada yang urutannya hanya pak Udjo, staf-staf ahlinya
serta Tuhan yang tahu. Firasatku berkata “ ini bagian dari sebuah ide cerdas
sang maestro legendaris dari tanah sunda ini.”
Seperti tak
pernah bosan, Mang Udjo sungguh tampak sangat piawai mempermainkan kami melalui
komando yang yang telah kami sepakati. Tetiba, kami seperti kerbau yang di
cucuk hidungnya, kami seketika itu menjadi begitu penurut. Tapi ini tentu
sebuah persembahan dari sang maha karya legendaris, sedikitpun kami tak pernah
mengeluh tentang hal ini. Justru kami bahagia sekaligus terlena di buatnya.
Sungguh sajian seni yang sangat berkelas.
Misalnya
saja, seperti yang sudah aku jelaskan di atas bahwa untuk memainkan nya hanya
cukup melihat gerak tangan pak Udjo saja, tidak lebih tidak kurang. Semua
bank nada sudah dalam komando beliau. Sehingga ketika pak Udjo memulai masuk ke
sebuah gubahan nada maka kami para peserta akan terkesima dengan takjub sambil
tangan –tangan kami memegangi angklung dan bersiap – siap menggerakannya.
Gelombang otak kami seolah dituntunya menuju ke arah gelombang Beta, kami
hampir di hipnotis olehnya.
Sekitar
puluhan bahkan seratusan pasang mata terkesima, lebih tepatnya hanyut namun
masih dalam sadar yang terukur. Mata memperhatikan pak udjo, sambil bibir
menerbitkan senyum yang termanis yang pernah ada. Kebahagiaan tumpah
berhamburan ketika perpaduan tangan berhasil menyesuaikan dengan tangga nada
yang di tunjukan oleh pak Udjo. Sangat klop, Mang Udjo pun seketika itu ikut
tersenyum, sedangkan aku ? sama telah tenggelam dalam nikmat tiada tara.
Sementara itu
di sudut bagian bumi yang masih sama, pada detik yang sama pula. para panitia
yang di gelari “Juru kamera” telah sibuk membanjiri kami dengan “blits” kamera yang
berlesatan. Sebuah moment telah di rekam dalam bentuk gambar oleh sang “Juru
Kamera”. Pada detik itu juga, seolah kami telah resmi di daulat menjadi artis
figuran sebuah pertunjukan angklung penuh pesona. (Lebih tepatnya sebagai
penontonnya).
“Anda harus
merasakan suara Angklung digoyang dengan tangan Anda sendiri karena alat musik
ini khas dan menyimpan pesona kemolekan bentuknya dan irama. Saat Anda gerakan
maka angklung menebar berjuta harmoni yang menyatu dalam nada indah” begitu
ucap Mang Udjo. Sungguh alunan Rumpun Bambu Saung Angklung Udjo adalah sketsa
keindahan bumi Tataran Sunda yang mempesona kaya akan cita rasa budaya.
Euphoria dan
hysteria sore tadi seolah bersatu dengan awan kelabu di atasnya, awan
yang menujukan tanda-tanda senja telah menyerbu bumi dengan bias sinar
magenta-nya. Mega kuning keemasan mulai membalur horizon di ufuk barat.
Persembahan dari Mang Udjo sampai pada titik klimaksnya, beliau membawakan lagu
shimpony yang di akuinya sebagai master piece terbaik selama beliau berkiprah
di bidang seni angklung ini, yaitu symphony dari group band legendaris Queen.
Tak ayal,
tangga nada yang di mainkan membangkitkan adrenalin kami, kami yang saat itu
sudah lelah karena terperdaya, larut, tenggelam oleh persembahannya yang
membius, seolah di beri energi baru, sontak, alunan nadanya menyeret paksa
tangan, kaki, tubuh dan semuanya untuk maju ke depan panggung hiburan yang seolah
berganti sebagai arena expresi kebahagiaan, Kemudian kami pun bergegas maju
kedepan dengan sorak sorai kebahagiaa, berlonjakan, sampai tangan di angkat
keatas, seperti bahagia mendapatkan hadiah durian rutuh.
Kami
bergoyang bersama dengan kompak, satu hentakan kaki yang di hentakan sambil
tangan saling bergandengan pundak. Aku yakin saat itu keringat telah
bersenyawa dengan tetes-tetes gerimis yang mulai turun, tiba-tiba aku merasa
malu yang tidak jelas juntrungannya. Malu di lihat padahal tidak ada yang
melihat. Akupun keluar dari arena ekspresi itu. Dan segera berteduh karena
gerimis tampaknya mulai deras mengucur dari langit.
Setelah masa
itu, semua berkumpul untuk ikut ambil bagian foto bersama dengan seluruh
peserta PGC (Parahyangan Green Challenge ) 2014 Bandung bersama Mang Udjo dan
personilnya. Potret di senja itu telah mengabadikan kami dalam sileut senyum
yang tersimpan dengan begitu indah. Wajah-wajah penuh haru terasa terbawa dalam
suasana yang mengambang, bahagia bertebaran membanjir disana-sini. sementara
jauh di pedalaman hatiku berkata “Aku tak ingin beranjak pergi dari sini”.
namun keniscayaan sang waktu selalu tak pernah bisa di tawar. Senja semakin
merangkak. Langit semakin bersemu menguning. Meninggalkan kenangan yang aku
yakini akan selalu indah.
Sudah saatnya
Kamera imajinasiku kembali aku angkat masuk menuju ke pesawat ulang alik milik
NASA. Kamera imajinasi yang sedari tadi menyoroti segumpal kenagan kembali aku zoom out dengan pilu karena ada rasa tidak
rela. Di zoom
out lagi hingga
terlihat rerintik hujan berderai membasahi balai Pare Bandung di senja yang
mulai gelap. Tampak wajah-wajah sumringah itu mulai menjauh. Kamera imajinasi
itu terangkat lagi ke atas. Di zoom
out, tampak hanya
ratusan kerumun manusia kecil kurcaci yang semakin hilang. Kamera imajinasi itu
terus aku angkat ka atas, tampak Balai Pare dari langit kota Bandung, aku
angkat lagi, mulai tampak pulau Jawa yang memanjang seperti lempengan,
terus aku zoom
out lagi, hingga
tampaklah bentang alam negeriku : Indonesia dengan hamparan warna hijau yang
begitu memukau. Kemudian terus di zoom
out dengan cepat,
selintas tampak bola bumi tempat aku dan impianku bersemayam. Kamera imajinasi
hasil panyatuan kenagan memori k uterus aku angkat. Tampak batas cakrawala
manghampar, bumi terlihat semakin kecil- semakin kecil dan terus mengecil
hingga akhirnya kamera imajinasiku kembali ke pesawat ulang alik NASA Amerika,
aku matikan kamera imajinasiku karena sekarang akan berlanjut lagi ke agenda
selanjutnya. Agenda yang pastinya akan lebih seru lagi. Setelah ini tentunya
kami akan di bawa ke Masjid “Al IRSYAD SATYA kota Baru Parahyangan ” sebuah
masjid desain unik besutan arsitek anak bangsa : Ridwan Kamil, walikota
Bandung.
Kawan, Ini
tercatat sebagai bentuk kenangan bahwa aku tidak ingin moment-moment indah
bersama orang-orang hebat yang aku merasa dekat dengan nya berlalu begitu saja,
ini tercatat karena aku ingin orang-orang dekat ku juga bisa selalu dengan
mudah mengingat kebersamaan yang pernah ada. Dan ini tercatat semata-mata
karena aku menghormati kalian sahabat, orang –orang yang aku kenal dengan baik
supaya suatu saat di masa depan nanti aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa
aku pernah bersama kalian di moment bahagia ini. Salam rindu ku sahabat dan
orang orang dekat ku.
Note :
Berdasarkan secuil berita yang aku tahu tentang Saung Angklung Udjo; Angklung
Udjo; telah didirikan pada tahun 1967 oleh Mang Udjo dan istrinya, Uum
Sumiati Udjo. Di tempat inilah kesenian musik Angklung dilestarikan. Nama Udjo
sendiri diambil dari nama pendiri sekaligus pemilik tempat ini. Berdirinya
padepokan ini juga tidak lepas dari bantuan dan dorongan Mang Daeng Soetigna,
seorang tokoh angklung yang juga merupakan guru dari Mang Udjo. Angklung adalah
sejenis alat musik yang terbuat dari bahan bambu yang mempunyai suara dan irama
yang khas. Angklung merupakan gabungan dari beberapa instrumen yang terdiri
dari pipa bambu dengan ukuran yang berbeda-beda dan ditempatkan di suatu
bingkai yang kecil dan diguncangkan untuk mengeluarkan bunyi.
Di catat pada
: Sabtu 26- April 2014 pukul 18 : 04 WIB di Bus Agenda PGC (parahyangan
Green Challenge) 2014 Bandung Jawa Barat
Silaturahmi Via Twitter : @andiyantosmile
Follow Tumblr : http://andiyantosangpembelajar.tumblr.com
Blog : http://andiyantosangpembelajar.blogspot.com
Fan Page Sang Pembelajar : http://facebook.com/andiyantosangpembelajar
PIN BB 7436105E ( Klik PIN untuk invite ke BBM jika handphone anda sudah terinstal BB Mesenger )
Andi Yanto
SANG PEMBELAJAR
Founder / CEO for UNGGUL MANDIRI FOUNDATION (Insyaa Allah masih sedang merintis)
“Semangat menulis satu hari minimal satu judul tulisan di tahun 2015”
0 komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca tulisan di atas, silakan berikan tanggapan/ komentar/ inspirasimu di bawah sini :